Thursday 8 May 2014

Posted by Unknown
No comments | 07:57
Falsafah Pancasila diyakini sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang sesuai dengan aspirasinya, kenyakinan ini dinuktikan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak awal pembentukan Negara kesatuan RI sampai sekarang. Konsep wawasan nusantara berpangkal pada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama yang kemudian melahirkan hakikat misi manusia Indonesia yang terjabarkan pada sila-sila berikutnya. Wawasan nusantara sebagai aktualisasi falsafah Pancasila menjadi landasan dan pedoman bagi pengelolaan kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Laut bebas/lepas berada di wilayah laut selain perairan pedalaman, perairan kepulauan, perairan teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.  Oleh karena itu aturan dan hukum yang mengatur tentang laut bebas/lepas berada pada suatu badan otorita Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Salah satu badan hukum yang mengatur tentang laut lepas yaituUnited Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum laut dan telah di tandatangani oleh 118 negara termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982.  Konvensi ini merupakan kelanjutan dari Konvensi Jenewa tahun 1958 yang telah menghasilkan 3 konvensi yaitu : (1) Konvensi mengenai Pengambilan Ikan serta Hasil Laut dan Pembinaan Sumber-sumber Hajati Laut Bebas; (2) Konvensi mengenai Dataran Kontinental; (3) Konvensi mengenai Laut Bebas.

Untuk melihat tanggapan Negara dan Bangsa Indonesia tentang hasil-hasil konvensi tersebut dan kesusaian hukum kepulauan dan perairan Indonesia serta sosialisasi kepada Negara dan Bangsa Indonesia maka hasil konvensi tersebut terlebih dahulu harus diratifikasi (disahkan) dalam bentuk Undang-Undang Negara Republik Indonesia.

Hasil ratifikasi Konvensi Jamaica 1982 tertuang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut.

Dalam UU No. 17 Tahun 1985 pada point Umum dijelaskan bahwa Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Jamaica 1982 mengatur rejim-rejim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, yang rejim-rejimnya satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Ditinjau dari isinya, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut  terdiri atas :
1.    Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang sudah ada, misalnya kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial;

2.    Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria Landas Kontinen. Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut kriteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitasi. Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut;

3.    Sebagian melahirkan rejim-rejim hukum baru, seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional.

Negara dan Bangsa Indonesia yang memiliki kewilayahan laut begitu luas dan sangat memerlukan rejim-rejim hukum laut agar pengawasan dan perlindungan wilayah laut terutama ancaman dari luar agar dapat diatasi.   Selain itu rejim hukum Negara Kepulauan mempunyai arti dan peranan penting untuk memantapkan kedudukan Indonesia sebagai Negara Kepulauan dalam rangka implementasi Wawasan Nusantara sesuai amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.  Yang dimaksud dengan "Negara Kepulauan" menurut Konvensi ini adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

Hal-hal demikianlah yang melatarbelakangi perlunya Konvensi Jamaica 1982 disahkan dalam bentuk UU Republik Indonesia, yaitu UU No. 17 tahun 1985 yang melampirkan naskah asli Jamaica 1982.

Sesuai dengan Konvensi Genewa tahun 1958, Pasal 1 UU No. 19 tahun 1961 bagian konvensi tentang Laut Lepas, definisi atau Istilah "laut lepas" berarti semua bagian laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau perairan pedalaman sesuatu negara.  Pada definisi ini, Negara dan Bangsa Indonesia hanya memiliki kedaulatan penuh pada wilayah laut sampai 12 mil saja (laut teritorial) dan selebihnya adalah laut bebas serta belum dikenal tentang wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).

Perihal ini dilengkapi dengan Konvensi Jamaica 1982 yang disahkan dalam UU RI No. 17 tahun 1985 dan menyatakan bahwa Laut Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial perairan pedalaman dan perairan kepulauan (Artikel 86 UNCLOS Jamaica 1982 disahkan).

Untuk setiap zona maritim Konvensi (UNCLOS) 1982 memuat berbagai ketentuan yang mengatur tentang penetapan batas-batas terluarnya (outer limit) dengan batas-batas maksimum yang ditetapkansebagai berikut:

1.      Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara:12 mil-laut;
2.      Zona tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus: 24 mil-laut;
3.      Zona ekonomi eksklusif:200 mil-laut;
4.      Landas kontinen: antara 200–350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil-laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter.

Di samping itu Konvensi 1982 juga menetapkan bahwa suatu negarakepulauan juga berhak untuk menetapkan:

5.      Perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya;
6.      Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya; (Sunyowati, Ddan Narwaty E,. 2004)

Arti penting pengesahan Konvensi Jamaica 1982 bagi Bangsa dan Negara Indonesia adalah sebagai berikut :

1.      Pengesahan Konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.

2.      Pengakuan resmi asas Negara Kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.  Deklarasi Juanda, menyatakan “Bahwa perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian-bagian pulau yang termasukdaratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yangwajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairannasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia.  Hal ini sangat berbeda dengan yang diatur dalam TZMKO (Territoriale Zee-en Maritime Kringen Ordonantie) tahun 1933, tercantum dalam Staatsbad 1933 Nomor 422, berlaku mulai tanggal 25 September 1933, yang merupakan warisan pemerintah Hindia Belanda.
Pasal 1 Ordonansi tersebut menyatakan bahwa lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil laut diukur dari garis air rendah dari pulau-pulau yang termasuk dalam daerah Indonesia sehingga Apabila menggunakan pasal tersebut untuk mengukur lebar laut territorial, maka sebagian besar dari pulau-pulau atau kelompok pulau-pulau akan mempunyai laut territorial sendiri dan sebagai akibatnya di antara laut-laut tersebut akan terdapat bagian-bagian dari laut bebas (Sunyowati, D dan Narwaty E,. 2004).

3.      Indonesia sebagai negara yang berhadapan dengan laut bebas/lepas akan memiliki peran yang lebih, dalam hal ikut mewujudkan perdamaian dunia.

Undang-undang pendukung lahirnya UU No. 17 tahun 1985 yaitu  :

1.      UU RI No. 4 tahun 1960 tentang Persetujuan Perjanjian Persahabatan Antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu.  Persetujuan perjanjian persahabatan dilakukan Sesuai dengan politik luar negeri Republik Indonesia yang bebas dan aktip serta politik tetangga baik yang kita anuti, dan sesuai pula dengan azas-azas Konperensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, Pemerintah senantiasa berusaha untuk mengadakan dan memelihara perhubungan persahabatan dengan negara-negara seluruh dunia umumnya dan dengan negara-negara tetangga serta negara-negara Asia-Afrika khususnya.
Sebagai perwujudan dari usaha ini telah diadakan perjanjian- perjanjian persahabatan dengan Mesir, Syria, India, Pakistan, Burma, Philipina, Thailand, Afganistan, Irak dan Iran.
Negara-negara Asia-Afrika Persekutuan Tanah Melayu adalah negara tetangga yang berbatasan paling dekat dengan Republik Indonesia, sehingga bermacam-macam lalu-lintas terus-menerus berlangsung antara kedua negara itu.
Selain dari itu Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu terletak disatu bagian dimuka bumi ini, mempunyai riwayat/ sejarah yang mengandung banyak persamaan-persamaan, dan setelah kedua-duanya mencapai kemerdekaan sekarang sama-sama berusaha membangun serta sama-sama menyusun rumah tangganya masing-masing. Pun sebagian besar dari rakyat Persekutuan Tanah Melayu berasal dari keturunan yang sama, mempunyai bahasa dan kebudayaan yang bersamaan, memiliki sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan serta kepercayaan-kepercayaan yang bersamaan juga dengan rakyat Republik Indonesia. Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu juga mempunyai persamaan kepentingan dalam dunia perdagangan karena kedua negara sama-sama merupakan penghasilan karet dan timah yang terutama didunia.
Akhirnya pada implementasinya sekarang UU No. 4 tahun 1960 ini, dinyatakan tidak berlaku karena telah diperbaiki dan digantikan dengan UU RI No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

2.     UU RI No.  19 Tahun 1961 Tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut.
UU RI No. 19 Tahun 1961 merupakan undang-undang yang dibuat untuk meratifikasi (mensahkan) Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut  yang lebih dikenal dengan Konvensi Jenewa 1958. Konperensi Internasional mengenai Hukum Laut (Conference on the Law of the Sea) di Jenewa tahun 1958 dimana Republik Indonesia ikut serta hadir, telah menghasilkan tiga konvensi, yaitu:
a.       Konvensi mengenai Pengambilan Ikan serta Hasil Laut dan Pembinaan Sumber-sumber Hajati Laut Bebas;
b.      Konvensi mengenai Dataran Kontinental;
c.       Konvensi mengenai Laut Bebas.
Konvensi-konvensi tersebut telah ditandatangani oleh Ketua Delegasi Republik Indonesia ke Konperensi Jenewa tersebut. Ikut sertanya Republik Indonesia sebagai anggota dari tiga konvensi termaksud adalah sudah sewajarnya, mengingat bahwa Republik Indonesia adalah merupakan suatu Negara kepulauan, dan dengan demikian Indonesia mempunyai kepentingan terhadap segala sesuatu yang mempunyai segi Hukum Laut.Menurut ketata-negaraan kita, persetujuan atas tiga Konvensi termaksud, berdasarkan pasal 11 Undang-undang Dasar, memerlukan persetujuan dengan Undang-undang.

Pengesahan UNCLOS Jamaica 1985 melihat beberapa pertimbangan sebagai berikut :

·         United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) telah diterima baik oleh Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga di New York pada tanggal 30 April 1982 dan telah ditandatangani oleh Negara Republik Indonesia bersama-sama seratus delapan belas penandatangan lain di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982.

·         United Nations Convention on the Law of the Sea mengatur mengatur rejim-rejim hukum laut, termasuk rejim hukum Negara Kepulauan secara menyeluruh dan dalam satu paket.

·         Rejim hukum Negara Kepulauan mempunyai arti dan peranan penting untuk memantapkan kedudukan Indonesia sebagai Negara Kepulauan dalam rangka implementasi Wawasan Nusantara sesuai amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Penjelasan pengesahan yang terdapat di dalam UU No. 17 Tahun 1985 adalah sebagai berikut :

·         Ditinjau dari isinya, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Jamaica 1982 merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut Jenewa 1958, misalnya kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial;

·         Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas yang menetapkan Laut Lepas dimulai dari batas terluar Laut Teritorial, Konvensi Jamaica 1982 menetapkan bahwa Laut Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial perairan pedalaman dan perairan kepulauan.

·         Kecuali perbedaan-perbedaan tersebut di atas, pada dasarnya tidak terdapat perbedaan antara Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Jamaica 1982 mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan di Laut Lepas.

Dalam UNCLOS Jamaica 1982 khususnya pada Part VII tentang High Seas dimuat beberapa hal yang menyangkut biofisik, sosial ekonomi, hukum dan perundangan (sanksi) dan juga kebijakan-kebijakan. Karena berada dalam kewilayahan laut bebas, maka persoalan sosial ekonomi memang tidak terlalu banyak menjadi pembahasan seperti pada bagian perairan lainnya yaitu hanya 0,31% yang termuat dalam Artikel 88 yang menyatakan bahwa ketetapan-ketetapan aturan pada laut bebas/lepas adalah bertujuan untuk perdamaian.
Perihal yang paling banyak dibahas khususnya di laut lepas/bebas yaitu kebijakan (4,37%), hukum dan perundang-undangan (4,06%) termasuk sanksi serta biofisik (1,87%) dari total artikel (pasal) sebanyak 320.

Biofisik menyangkut manajemen dan konservasi lingkungan di laut bebas/lepas dimana setiap Negara memiliki tugas dan kewajiban untuk bekerja sama di dalam menjaga lingkungan perairan di laut bebas/lepas dari pencemaran bahan radioaktif, limbah industri dan bahan-bahan pencemar lainnya.

Hukum dan perundang-undangan termasuk sanksi mengatur bahwa setiap kapal wajib mengibarkan bendera negaranya ketika melintas di jalur laut bebas serta di larang keras setiap kapal melakukan tindakan-tindakan illegal seperti pengangkutan tenaga kerja illegal, perampokan dan pembajakan.

Kebijakan menyatakan bahwa aturan high seas tidak berlaku pada perairan lainnya (ZEE, territorial, perairan kepulauan dan pedalaman) dan semua Negara tanpa terkecuali baik Negara yang memiliki pantai maupun tidak berada pada pengawasan atau di bawah control aturan international.  Tetapi dilain pihak setiap Negara juga memiliki kebebasan-kebebasan yang dapat dilakukan di laut bebas/lepas.

Ada beberapa kelemahan dari aturan ini, yang terdiri atas :

1.    Aturan ini menyatakan bahwa segala aktivitas di laut lepas/bebas dalam kendali aturan ini dan hukum international.  Pernyataan tersebut ternyata belum didukung dan dijelaskan lebih lanjut yaitu kepada siapa pemberian kewenangan pengawasan dan penjagaan di laut lepas/bebas.
2.     Setiap kapal yang melintas di laut bebas/lepas diwajibkan mengibarkan bendera kebangsaan.  Syarat ini ternyata terlalu mudah karena setiap kapal akan mudah berganti bendera sesuai dengan keinginannya seharusnya diwajibkan setiap kapal memiliki nama dan warna khusus yang terlebih dahulu telah didaftarkan pada PBB.
3.    Walaupun konvensi ini menyatakan bahwa di kawasan laut lepas tidak satupun negara yang berdaulat, tetapi sangat memungkinkan bagi negara-negara yang berteknologi maju dan tinggi dalam navigasi, ekplorasi laut dan penangkapan ikan beroperasi di wilayah tersebut sehingga terjadi pemanfaatan yang non-kompetitif.

Selain kelemahan ada kelebihan-kelebihan dari konvensi ini, khususnya bagi Negara dan Bangsa Indonesia.  Kelebihan-kelebihan tersebut adalah sebagai berikut :

1.     Dengan diakuinya asas Negara Kepulauan, maka perairan yang dahulu merupakan bagian dari Laut Lepas kini menjadi "perairan kepulauan" yang berarti menjadi wilayah perairan Republik Indonesia.
2.     Dengan ikut sertanya Indonesia menandatangani konvensi Jamaica 1982,  secara langsung Indonesia mendapat pengakuan secara  International tentang wilayah laut berdaulat dan kebebasan-kebebasan dalam wilayah laut Lepas/Bebas.
3.    Indonesia sebagai negara yang langsung berhadapan dengan laut lepas/bebas secara langsung mendapat perlindungan hukum international dari upaya-upaya pencurian hasil laut, pencemaran laut, pembajakan dan perdagangan illegal.
4.    Dengan kesepakatan konvensi maka batas-batas kedaulatan wilayah laut suatu negara termasuk Indonesia semakin jelas, seperti perairan kepulauan, teritorial, ZEE, landas kontinen dan Laut Lepas/Bebas.

Dalam operasionalisasinya konvensi ini diperlakukan untuk semua negara baik itu negara pantai (coastal state) maupun negara tidak berpantai (land-locked state).  Operasionalisasinya ditekankan pada wilayah laut dimana semua negara (all state) memiliki hak, kebebasan dan tanggung jawab yang sama terhadap wilayah tersebut termasuk pemanfaatan kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanahnya.

Setiap negara harus menghormati perjanjian-perjanjian internasional yang sudah ada, Negara Kepulauan berkewajiban pula menghormati hak-hak tradisional penangkapan ikan dan kegiatan lain yang sah dari negara-negara tetangga yang langsung berdampingan, serta kabel laut yang telah ada di bagian tertentu perairan kepulauan yang dahulunya merupakan Laut Lepas.

Segala aktivitas semua negara terhadap kawasan laut lepas/bebas termasuk dasar laut dibawahnya dikoordinasikan oleh badan yang dibentuk oleh PBB misalnya untuk pemanfaatan kekayaan alam dasar laut dikoordinasikan oleh Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority).



DAFTAR PUSTAKA


Suhendar, S.  2005.  Laut dan Pesisir.  Buku Pedoman Geografi.  Jakarta.
Sunyowati, D dan Narwaty E,. 2004.  Penetapan Dan Penataan Batas Wilayah Laut Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Fakultas Hukum Universitas Airlangga.  Surabaya.
UU RI No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut. LN 1961/276; TLN NO. 2318.  Deplu RI.  Jakarta.
United Nations Convention On The Law Of The Sea, 1982. Montego Bay, Jamaica.  PBB. (http://www.unsrat.ac.id, diakses 23 Pebruari 2008).



0 comments:

Post a Comment

Blogroll

About