Showing posts with label review. Show all posts
Showing posts with label review. Show all posts

Monday 15 July 2013

Posted by Unknown
No comments | 18:22

"Terkadang kenyataan ga selalu sesuai sama yang kita inginkan. Terkadang kita harus nunggu lebih lama buat ketemu orang yang kita sayang." - Niki 

Film terbaru dari Maxima Pictures, Refrain, beranjak dari novel laris bertajuk sama yang dikreasi oleh Winna Efendi. Mengingat pangsa pasar yang disasar adalah remaja, maka yah... apa yang dituturkan di sini tidak jauh-jauh dari problematika percintaan segi rumit diantara sejumlah remaja SMA. Yang menjadi ‘korban’ asmara untuk sekali ini terdiri dari Niki (Maudy Ayunda), Nata (Afgansyah Reza), dan Annalise (Chelsea Elizabeth Islan). Sementara Niki dan Nata telah menjadi sahabat karib semenjak mereka masih bocah, maka Anna adalah siswi pindahan yang baru saja memasuki kehidupan mereka. Apabila ini berlangsung di kehidupan sesungguhnya, segalanya tidak akan berjalan kelewat berliku serta cenderung lurus. Tapi berhubung ini adalah film romansa... maka segalanya tidak baik-baik saja. Bisa dipastikan, ada percikan asmara diantara ketiganya yang sengaja disembunyikan demi menunggu waktu yang tepat untuk diungkapkan. Namun yang lantas menjadi pertanyaan (yang sekaligus menjadi konflik utama), kapan waktu yang tepat itu akan datang menghampiri? 


Memertemukan Fajar Nugros dengan Haqi Achmad dalam sebuah proyek adaptasi untuk novel remaja bergenre romansa, sejatinya merupakan ide yang bagus. Masing-masing telah berpengalaman di jalur ini dengan setidaknya satu karya yang dapat dibanggakan – Fajar melalui Cinta di Saku Celana, sedangkan Haqi lewat Radio Galau FM. Akan tetapi, apa yang sepertinya terlihat bagaikan ‘dream team’ di atas kertas, ternyata tak berjalan sesuai dengan pengharapan di lapangan. Mereka tidak dibekali dengan materi yang memadai. Nyaris tak ada sesuatu yang istimewa untuk ditawarkan dalam jalinan penceritaan. Bisa dibilang, segalanya kelewat sederhana, dangkal, dan hambar. Rasa manis memang masih bisa dikecap di beberapa bagian, namun sebagian besar yang lain nyaris tak ada rasa. Bangunan karakter beserta konflik di sini terlalu lemah. Saya tak merasa terikat dan peduli untuk mengikuti petualangan cinta Niki, Nata, Anna, dan Oliver (Maxime Bouttier). Keempat tokoh ini tak pernah menjadi begitu dekat dengan penonton, hampir tak mempunyai chemistry, dan seolah sibuk dengan urusan masing-masing. Bukan hal yang bagus, tentu saja. Untungnya, Maudy Ayunda menyalurkan energi untuk tokoh yang diperankannya secara maksimal dan pendatang baru Chelsea Elizabeth Islan mudah untuk disukai. 

Ketika paruh awal masih terbilang lumayan menarik untuk disimak, memasuki paruh akhir... putaran yang cukup drastis terjadi. Konflik demi konflik menggempur secara beruntun berpotensi menciptakan klimaks yang menghentak yang sayangnya tak pernah terjadi. Perubahan karakteristik dari beberapa tokoh yang kelewat ekstrim menjadikan Refraintoo weird to be true’. Berbelok kelewat tajam secara mendadak, tanpa melalui proses bertahap. Tentu, maksudnya untuk menghasilkan dramatisasi, yang terjadi justru menjadikan tokoh-tokoh tersebut tak manusiawi dan luar biasa menyebalkan. Simpati pun gagal tersemat. Untuk memberi sentuhan akhir yang mengesankan, film lantas diterbangkan ke luar negeri, atau dalam hal ini Austria – mengingatkan saya kepada film-film buatan Soraya generasi Shandy Aulia. Sekalipun porsinya terbilang minim, adegan-adegan yang terjadi di Austria ini terbilang cukup manis. Bisa terasa lebih manis, jika saja... gambar tidak pecah. Duh. Jauh-jauh menjalani proses pengambilan di negeri orang hanya untuk mendapatkan gambar yang tak sedang dipandang. Sungguh sangat disayangkan. 

Refrain bisa jadi akan dengan mudah membuat para remaja yang masih duduk di bangku sekolah jatuh cinta, terutama berkat para pemainnya yang sedap dipandang dan kisah percintaannya yang penuh kegalauan. Namun bagi mereka yang telah melewati fase ini (seperti saya yang tak lagi muda. Uhuk.)... Refrain akan dengan mudah menguap. Ditilik dari segi materi promosi, kudu diakui film ini adalah salah satu yang terkuat tahun ini – bahkan bisa jadi, dalam beberapa tahun terakhir – akan tetapi sayangnya itu tidak dibarengi dengan filmnya yang hadir dengan jalinan penceritaan yang lemah dan kekurangan energi dalam membuat penonton (dari berbagai generasi, tidak hanya remaja) untuk peduli dan terikat dengan kisah yang digulirkan. Nyaris tak ada greget yang dirasakan. Sayang sekali, padahal Refrain berpotensi menjadi film romantis yang mengesankan jika ditangani secara tepat.

Posted by Unknown
No comments | 18:12

"Apa kabar perawan tua? Kelapa itu semakin tua semakin kental santannya. Maka banggalah menjadi perawan tua." - Sukarman 

Cinta Suci Zahrana adalah film Lebaran terbaik tahun ini... jika dinilai dari trailer. Dari keempat film Indonesia yang dilempar ke pasaran menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri, Cinta Suci Zahrana menjadi satu-satunya yang mempunyai trailer paling ‘bener’. Fungsinya terjalankan dengan baik. Tapi sayang sekali, Sinemart, kualitas dari sebuah film tidak dinilai dari penampilan trailer-nya, sebagus apapun kemasannya. Setelah Ayat-Ayat Cinta, film-film adaptasi dari novel karangan Habiburrahman El Shirazy – atau yang akrab disapa Kang Abik – kian lama kian memprihatinkan. Puncaknya, ketika beliau memutuskan untuk turun ke lapangan demi membesut Dalam Mihrab Cinta yang ah... sudahlah, tak usah dibahas. Anda tentu sudah tahu betapa konyolnya film tersebut. Entah karena memang suatu kesengajaan lantaran paham betul penonton akan mengolok-olok hasil akhir film ini, atau murni karena sebuah kecelakaan – hanya sutradara dan Tuhan yang tahu, Chaerul Umam yang juga menangani dwilogi pembangun jiwa, Ketika Cinta Bertasbih, memutuskan untuk membawa Cinta Suci Zahrana ke ranah komedi. Setidaknya, itu yang berhasil saya tangkap. 
Tidak seperti Ayat-Ayat Cinta, dwilogi Ketika Cinta Bertasbih, maupun Dalam Mihrab Cinta, petualangan cinta dosen muda bernama Zahrana (Meyda Sefira) ini tidak dibalut dalam jalinan cerita yang mendayu-dayu, dan nuansa romantis yang berlebihan. Chaerul Umam mencoba untuk melakukan pendekatan baru, menerjemahkan novel Kang Abik menjadi sebuah film yang penuh dengan kegembiraan, keceriaan, dan kekonyolan yang membuat gedung bioskop dipenuhi dengan riuh tawa penonton yang nyaris tiada henti sepanjang film. Terserah Anda mengartikan ini sebagai sebuah penilaian yang positif atau negatif. Yang jelas, saya sangat menikmati setiap detik yang berjalan tatkala menyaksikan film ini. Ini adalah film Indonesia pertama yang membuat saya tertawa terbahak-bahak sampai-sampai mengeluarkan air mata – atau jika Anda ingin saya menuliskannya dalam bahasa yang lebay, ngakak kejengkang – di tahun 2012. Naskah olahan almarhum Misbach Yusa Biran menuntut film untuk bertutur dengan lebih santai dan realistis. Konflik yang dihadapi oleh Zahrana, begitu juga dengan sejumlah tokoh yang hadir dalam kehidupan Zahrana, dapat kita jumpai dengan mudah di kehidupan nyata. Beberapa dari Anda tentu sudah pernah dihadapkan pada pertanyaan, "kapan nikah?" atau "sudah punya calon belum?". Pertanyaan sederhana tapi nyelekit inilah yang menjadi dasar cerita Cinta Suci Zahrana.  
Jalan cerita Cinta Suci Zahrana masih mengulik seputar perjodohan dan lamar-melamar. Zahrana yang telah berusia 34 tahun tidak kunjung dipersunting oleh lelaki. Bukan tidak ada yang mau dengan Rana – sapaan akrab Zahrana, akan tetapi wanita yang baru saja kembali dari Beijing berkat prestasinya yang moncer dalam bidang akademis ini belum menemukan yang pas di hati *halah*. Hal ini membuat kedua orang tua Rana cemas. 
Harapan terakhir ayah Zahrana yang sakit-sakitan, Munajat (Amoroso Katamsi), adalah ingin segera melihat putri semata wayangnya ini segera naik ke pelaminan. Atasan Rana, Sukarman (Rahman Yacob), melamar Rana. Dengan alasan tidak menyukai akhlak dari Sukarman, Rana menampik lamaran. Konsekuensi yang diterima, dia kehilangan pekerjaan dan mendapat teror SMS yang tiada berkesudahan. Melihat kondisi sang ayah yang kian kritis, Rana pun meminta bantuan seorang ustadzah untuk mencarikannya jodoh. Rana dijodohkan dengan seorang penjual kerupuk keliling, Rachmad (Kholidi Asadil Alam). Di saat pernikahan hendak dilangsungkan, hadir Hasan (Miller Khan), seorang mahasiswa tingkat akhir yang pernah dibimbing Rana saat mengerjakan skripsi.
 Jika Anda sudah hafal dengan cara bertutur Kang Abik, maka Anda tentu sudah bisa menebak bagaimana penyelesaian cinta segibanyak antara Rana dengan para pria yang mengejarnya. Ada tokoh yang kudu dijadikan ‘tumbal’ demi terwujudnya akhir kisah yang bahagia. Yang menjadi pertanyaan, siapakah dia? Jeng jeng! Film pun ditutup dengan dialog menggelikan yang membuat saya ingin bergelantungan di dalam bioskop. “Mas, bolehkah aku menciummu?” “Tapi aku malu, dik.” “Tapi kan kita sudah menikah, sudah halal, dan kita sendirian.” Setelah dialog ini, Rana dan suaminya berjalan menjauhi kamera, menuju Candi Prambanan. Penonton tidak dibiarkan tahu, apakah mereka akhirnya berciuman atau tidak. Meh. 

Sunday 14 July 2013

Posted by Unknown
No comments | 07:06

nov-ceria.blogspot.com
Rara (Dwi Tasya) seorang gadis kecil berusia 8 tahun yang berkeinginan memiliki jendela di rumah kecilnya yang terbuat dari tripleks bekas puing-puing bangunan. Ia hidup di perkampungan kumuh tempat pemulung tinggal, tepatnya di Menteng Pulo, Jakarta.

Si Mbok (Inggrid Widjanarko), nenek Rara yang sakit-sakitan dan ayah Rara, Raga (Rafi Ahmad) yang bekerja sebagai penjual ikan hias dan tukang sol sepatu tidak mampu untuk membelikan Rara bahkan selembar daun jendela beserta kusennya. Rara juga punya Budhe, namanya Asih (Yuni Sara). Budhe Asih tidak tinggal bersama Rara, tapi ia tinggal di perumahan, dan ayah Rara sangat membencinya.

Rara dan teman-temannya yang sesama anak pemulung bersekolah di sekolah sederhana khusus anak jalanan. Bu Alya (Varissa Camelia) adalah satu-satunya pengajar sukarelawan yang mau membina dan membimbing anak-anak pemulung tersebut. Seusai sekolah, mereka biasanya "ngamen" dan "ngojek payung" untuk menyambung hidup.

Di tempat lain, di sebuah perumahan mewah kota Jakarta, adalah Aldo (Emir Mahira) anak lelaki berusia 11 tahun yang sedikit terbelakang mental, merindukan seorang teman di tengah keluarganya yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ia anak bungsu dari pengusaha sukses, Pak Syahri (Aswin Fabanyo) dan Nyonya Ratna (Alicia Djohar). Kehadiran Nek Aisyah (Aty Cancer Zein) yang merupakan Ibu Pak Syahri menjadi penghiburan untuk Aldo. Nek Aisyah sangat menyayanginya. Dialah yang selalu mengisi hari-hari Aldo dan menjadi teman terbaik Aldo.

Suatu hari, Aldo berkenalan dengan Rara yang saat itu tengah mengojek payung di sanggar menggambar Aldo, dan saat Aldo telah siap berangkat pulang Rara terserempet mobil Aldo. Sejak itu mereka menjadi akrab. Ketika Rara, Aldo dan teman-teman pemulung Aldo tampil di acara ulang tahun Kakaknya, Andini (Maudy Ayunda), perkampungan kumuh tempat Rara tinggal terjadi kebakaran. Tragedi itu mengakibatkan Raga, Ayah Rara meninggal dunia dan neneknya mengindap luka parah dan harus mondok di rumah sakkit. Sementara di rumah Aldo semua panik karena karena Aldo minggat dari rumah, kecewa dengan sikap kakaknya yang terang-terangan mengatakan merasa malu memiliki adik seperti dirinya.

Bagaimanakah cerita selanjutnya?? Apakah yang akan terjadi pada kisah persabatan Aldo dan Rara?? ikuti cerita menariknya dalam film Rumah Tanpa Jendela.

Blogroll

About