Tuesday 2 September 2014

Posted by Unknown
No comments | 21:36
Bisnis Indonesia – 11/11/2013.World Economic Forum (WEF) belum lama ini membawa kabar menggembirakan bagi Indonesia. Lembaga dengan reputasi internasional ini mengatrol peringkat Indonesia dalam daftar daya saing global (Global Competitiveness Index – CGI) 2013. Dalam laporannya September lalu, WEF menyatakan posisi Indonesia naik dari urutan 50 menjadi 38 dengan skor 4,53. Indonesia disebut merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan daya saing secara cepat dan dinamis di kawasan Asia Pasifik. WEF menobatkan Indonesia sebagai negara dengan lompatan tinggi.
Meski mengatrol peringkat daya saing Indonesia, dalam laporannya yang pernah dirilis menjelang awal 2013 lalu, WEF jugalah yang mengeluarkan “peringkat” kepada Indonesia, dengan menyebutkan bahwa kualitas infrastruktur di Indonesia ternyata adalah termasuk yang paling buruk se-Asia Tenggara.
Kualitas infrastruktur Indonesia dinilai terendah se-Asia, hanya lebih baik dibandingkan dengan Filipina. Kendati tertinggal dibandingkan dengan banyak negara, sangat tak pantas untuk menyebut Indonesia sebagai negara yang gagal dalam membangun infrastruktur. Indonesia tidak cacat infrastruktur. Indonesia juga “belum habis”.
Kerja pemerintah membangun dan mempercepat pengembangan infrastruktur selama ini juga sangat pantas diapresiasi karena telah cukup banyak memberikan support bagi ekonomi domestik.
Sedikitnya 38.000 km panjang jalan nasional telah terbangun hingga 2012. Sejumlah bandara dan pelabuhan baru telah dibangun dan ditingkatkan fungsinya. Jembatan-jelbatan baru juga sudah dibangun megah. Jaringan infrastruktur di tingkat kabupaten dan pedesaan juga berhasil dibenahi. Pembangunan infrastruktur jalan di daerah juga mencapai banyak kemajuan. Namun, harus diakui, semua itu belum cukup menjadikan Indonesia lebih siap untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Di sisi lain, pembangunan Infrastruktur sekaan berpacu dengan laju tingkat kebutuhan. Lihatlah kondisi bandara di sejumlah kota besar yang secara nyata sudah sangat kelebihan beban. Catat juga kondisi pelabuhan semisal Tanjung Priok di Jakarta yang jelas-jelas sudah megap-megap untuk memenuhi kebutuhan bongkar muat. Simak pula kondisi jalan di kota-kota besar yang tak lagi secara efektif mampu mengakomodasi kebutuhan penggunanya.
Artinya, memang sangat diperlukan gerak lebih cepat dan aksi lebih nyata untuk mengembangkan seluruh jaringan infrastruktur nasional. Meski berhasil membangun infrastruktur nasional dalam beberapa dekade belakangan ini, dan keberhasilan itu pula lah yang menopang pertumbuhan ekonomi nasional hingga bisa mencapai 6%-7% tahun lalu, Indonesia tetap harus menyiapkan upaya pengembangan infrastruktur secara lebih cepat dan agresif.
Ini yang seringkali disebut banyak kalangan sebagai upaya percepatan pembangunan infrastruktur.
Peningkatan Investasi
Salah satu kunci keberhasilan pembangunan (dan percepatan pembangunan) infrastruktur adalah mengupayakan peningkatan investasi di bidang infrastruktur. Jujur saja, upaya ini masih dihadang banyak persoalan. Padahal, investasi di bidang pembangunan infrastruktur sesungguhnya adalah sebuah peluang sangat besar. Asia Macquarie Capital pernah merilis risetnya bahwa investasi infrastruktur di Indonesia sesungguhnya tergolong paling menarik di Asia, dibandingkan dengan China dan India. Selain karena pertumbuhan ekonomi yang dipercaya akan terus meningkat, ketersediaan infrastruktur di Indonesia masih minim.
Bappenas pernah merilis data bahwa total investasi infrastruktur Indonesia terhadap PDB masih terbilang kecil, baru 4,51%, tertinggal jauh dibandingkan negara lain seperti China dan India. Sejak 2009 silam, investasi infrastruktur di India sudah di atas 7% terhadap PDB. Di China, sejak 2005, investasi infrastruktur bahkan sudah mencapai 9%-11% dari PDB. Sementara itu, Indonesia masih berada di bawah angka 5%.
Padahal berdasarkan rule of thumb, kebutuhan investasi infrastruktur harus di atas 5%. Meski tren alokasi infrastruktur mengalami kenaikan, ada jarak yang cukup jauh antara kebutuhan infrastruktur Indonesia yang saat ini baru 4,51% dan kebutuhan infrastruktur 7% terhadap PDB.
Sesungguhnya, tak terlalu sulit untuk meningkatkan investasi di bidang infrastruktur. Beri kemudahan, kikis habis segala hambatan, sediakan insentif. Menjaring modal asing dan lokal untuk kepentingan infrastruktur tak harus ribet. Terapkan cara praktis dan pragmatis, meski tetap harus dalam koridor hukum yang berlaku. Tapi, jika aturan dan hukum pun dirasa sudah cenderung kontraproduktif dan “basi” untuk sebuah tujuan yang lebih besar, ketentuan-ketentuan itu pun tak harus dipertahankan.
Wapres sendiri sudah menyatakan dengan tegas bahwa regulasi yang menghambat harus diberantas. Hambatan investasi infrastruktur yang secara substansial banyak sekali disebabkan oleh urusan pembebasan lahan, misalnya, harus dibabat habis. Investor tak boleh dibuat gelisah melihat perundang-undangan baru tentang pembebasan lahan, ternyata belum juga bisa diberlakukan secara efektif.
Koordinasi antar lembaga yang oleh banyak investor juga sering dikeluhkan menjadi hambatan investasi infrastruktur, pun mutlak harus dibenahi. Sangat disayangkan, jika otoritas pengembangan infrastruktur tak mampu bekerja optimal dan menyumbangkan hasil maksimal hanya karena instansi dan lembaga lain tak mampu memberikan dukungan yang seharusnya.
Jangan Tanggung
Indonesia pun sebenarnya tak harus lagi selalu gamang dalam menyediakan perangsang. Tak usah lagi tanggung-tanggung dan harus lebih berani memberikan dorongan serta insentif yang atraktif untuk merebut dan menjaring minat pemodal. Sekarang lah saatnya melakukan aksi nyata. Jika perlu, dengan sedikit radikal.
Insentif teknis sangat dibutuhkan, sementara insentif non teknis seperti kemudahan dan perangsang fiskal juga sangat ditunggu. Termasuk misalnya, menyediakan cara-cara praktif, mudah dan murah untuk mendapatkan pendanaan bagi investasi infrastruktur.
Indonesia memang sedang menghadapi tantangan besar dalam menjaga, mempertahankan dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil pada “angka yang meyakinkan”, kendati pun dengan pertumbuhan sekitar 5,5% saja dalam kurun waktu satu semester terakhir ini, Indonesia berada di peringkat kedua terbaik dunia, setelah China.
Negeri ini memang membutuhkan gerak cepat dalam membangun infarstrukturnya. Mungkin, dibutuhkan juga kemauan politis (political will) yang lebih kuat dari penguasa negeri ini. Presiden SBY sendiri telah pernah mencanangkan 2012 lalu sebagai tahun kebangkitan infrastruktur. Jargon dan slogan kebangkitan telah dikumandangkan. APBN pun sudah akan digerakkan untuk menggenjot investasi infrastruktur.
Nyatanya, semua kalangan masih saja belum (bisa) bergerak optimal, apalagi setelah krisis keuangan dan ekonomi regional dan global juga ikut membuat ekonomi Indonesia sedikit guncang beberapa waktu lalu. Banyak yang mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia sudah nyaris kehilangan momentumnya untuk menggenjot pembangunan infrastruktur (yang berkualitas).
Tapi, banyak juga yang tak percaya. Yakinlah, Indonesia masih punya banyak kesempatan untuk terus menggalang kekuatan dan kemampuan membangun infrastruktur yang baik dan berkualitas. Political will yang lebih “keras” memang sangat dibutuhkan untuk merangsang aksi-aksi gerak cepat dan nyata membangun infrastruktur.
Pada sisi lain, pemerintah mungkin sangat perlu untuk meningkatkan alokasi anggaran untuk pengembangan infrastruktur. Banyak kalangan menilai, jumlah anggaran sebesar Rp208 triliun pada 2013 ini masih belum cukup, apalagi Indonesia ingin lebih agresif membangun. Mereka menyebut angka: seharusnya 20% dari PDB.
AS dan Jepang dapat sukses keluar dan terhindar dari ancaman krisis ekonomi belakangan ini, justru karena menyadari hal-hal semacam ini. Mereka meningkatkan porsi anggaran untuk infrastrukturnya, karena tahu persis bahwa keputusan itu akan berimplikasi sangat signifikan, menghasilkan efek berganda yang sangat positif.
Sekali lagi, tantangan saat ini dan ke depan sebenarnya adalah percepatan aksi. Tak perlu lagi wacana mengambang, tak butuh lagi diskusi panjang. Ini juga akan menjadi tantangan pemerintahan yang akan datang, dan tampaknya akan kian berat. Hambatan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur harus terus diberantas.
Ditulis oleh: Ir. Bobby Gafur Umar, MBA (Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia)
sumber: Koran Bisnis Indonesia, 11/11/2013.

Monday 25 August 2014

Posted by Unknown
No comments | 19:56

Bermilyar-milyar tahun sebelum manusia mengembangkan pengertian samar-samar mengenai masa lampau, masa kini dan masa depan, berbagai organisme telah terlibat dalam waktu. Dalam arti tertentu, kehidupan merupakan semacam keseimbangan yang penuh bahaya seperti pemain akrobat, yang terus-menerus meniti di puncak jurang kebinasaan. Bagi organisme, waktu merupakan sesuatu yang menentukan, tidak kalah gentingnya dengan yang di alami oleh pemain akrobat tersebut.

Peranan pengatur waktu dapat diamati pada setiap tingkat kehidupan. Sinkronasi dalam tubuh terdapat pada suatu proses yang paling besar, yaitu proses terbelahnya satu sel menjadi dua sel; proses ini didahului oleh belasan proses biokimia, yang kesemuanya menuntut pengaturan waktu yang ketepatannya luar biasa. Sinkronisasi dalam tubuh juga terdapat pada tingkat yang jauh lebih rumit seperti pada denyut jantung manusia dan binatang lain.

Setiap orang mengerti bahwa denyut jantung yang berirama dan bekerja terus-menerus sangat mutlak perlu bagi kehidupan. Berhentinya jantung dalam beberapa detik menyebabkan pingsan, dan dalam beberapa menit menghilangkan kehidupan. Jantung dapat berdenyut sendiri. Pemacu jantung agaknya hidup dari dirinya sendiri sejak semula.

Suatu percobaan laboraturium yang banyak dikenal mahasiswa memperlihatkan betapa menakjubkannya jantung sebagai pengatur waktu. dalam percobaan tersebut, jantung kodok yang telah berhenti berdenyut direndam dalam larutan garam. Maka jantung kodok itupun kembali berdenyut dengan irama seperti semula. Maka dalam hal ini perlu adanya penelitian sederhana melalui tumbuhan.

Pada abad ke-18 seorang ilmuan Prancisn Jean-Jacques De Mairan, melakukan penelitian terhadap tumbuhan peka yang dilihatnya dapat mekar pada pagi hari dan menutup kembali pada sore hari dengan menempatkannya pada ruang gelap kemudian mengamatinya. Pada tahun 1729 De Mairan menulis kesimpulan penelitiannya itu: "Hal itu sama sekali tidak perlu terjadi di bawah sinar matahari atau di udara terbuka. Gejala tersebut hanya sedikit kurang mencolok kalau tumbuhannya disimpan dalam ruangan tertutup; masih kelihatan jelas kalau daunnya terbuka selam siang hari dan tertutup pada malam hari. Jadi, tumbuhan peka itu merasakan sinar matahari tanpa harus melihatnya".

Meskipun pengamatan De Mairan tepat, namun kesimpulan yang diambil adalah salah. Karena walaupun tumbuhan peka, ia tidak akan tahu ada sinar matahari tanpa melihatnya. Apa yang secara tidak sadar ditemukannya adalah salah satu dari jam dalam yang digunakan tumbuhan - dan juga binatang - untuk menyelaraskan diri dengan irama lingkungannya yang biasa, bahkan juga apabila untuk sementara waktu dipisahkan dari irama tersebut.

Jam Bunga merupakan alat penunjuk waktu yang cerdik dan sekaligus indah di taman-taman resmi Eropa pada abad ke-19. Deretan bungan disusun membentuk semacam "muka" jam, sedangkan setiap petak mewakili jangka waktu satu jam. kemudian petak-petak itu ditanami bunga yang diketahui mekar atau menutup pada jam tertentu. Pada hari yang cerah waktu dapat ditentukan hingga tengahan jam dengan cara ini. Jam bunga sekarang jarang terdapat karena kesukaran mencari dan memelihara bunga yang akan menempati petak tersebut dalam berbagai musim.

Daur Bambu jenis Guadua trinii dari Argentina memperlihatkan adanya jam biologis yang ketepannya melampaui apapun yang sampai sekarang telah diketahui. Pola hidup berirama tumbuhan ini, yaitu diperlukannya tepat 30 tahun dari biji ke bijji, pertama kali dipelajari oleh Lorenzo Parodi, ahli argonomi dari Buenos Aires. Ia menanam 10 semaian, semaian itu tumbuh bertunas pada Januari 1923. Tanaman ini tumbuh selama 29 tahun, lalu menghasilka bunga (bawah). pada bulan Januari 1953 bunganya menghasilkan biji, tiga puluh tahun tepat setelah tanaman itu sendiri tumbuh dari bijinya.

Menyesuaikan Jam Biologis merupakan permasalahan bagi orang yang beepergian yang mungkin tidak berhasil menyesuaikan diri dengan waktu setempat selama beberapa hari sesudah menempuh perjalanan jauh. Dalam suatu penerbangan dari Tokyo ke Seatle, orang yang meninggalkan Jepang pada hari Selasa pukul 6 sore baru saja selesai makan malam. Jam biologisnya benar-benar cocok dengan waktu setempat. Kemudian ia terbang ke timur selama 8.5 jam, melintasi 6 zona waktu (dari garis tanggal internasional) dan mendarat di Seatle pada hari Selasa pukul 9.30 pagi waktu setempat. Tapi jam biologisnya masih berkerja menurut waktu Tokyo dan ia merasa saat itu merupaka hari Rabu pukul 2.30 dini hari. Ia bukannya segar bugar menghadapi hari Rabu namun serasa mengatuk seakan ingin tidur selama 8 jam.

Setiap organisme memiliki irama alamiah tertentu yang menentukan bagaimana kehidupan dan perkembangannya, dan dalam hal-hal tertentu dalam mempertahankan kelestarian hidupnya. Banyak diantara irama-irama ini berdiri sendiri, tapi ada pula yang harus diselaraskan dengan dunia disekitarnya. Sepertihalnya jam dinding, jam biologis yang menjalankan semua itu mempunyai dua ciri pokok, yakni memiliki gaya gerak dari dalam dan menetapkan daur waktunya sendiri berdasarka daur luar yang biasanya berupa perubahan suhu, terbit dan terbenamnya matahari atau pasang surut. Lebih dari fakta ini, pengetahuan kita sangat terbatas tentang jam alam yang ghaib itu. Di berbagai laboraturium di banyak negara para ilmuan menempatkan tumbuhan di daur gelap dan terang yang berubah-ubah, menganalisis proses kimiawi pada binatang dan mencobakannya pada manusia, pola tidur juga yang tidak biasa. Dengan semua itu mereka berusaha mengetahui lebih banyak mengenai jam biologis dan apa yang membuatnya berdetik.

Sumber: WAKTU oleh Samuel A. Goudsmit, Robert Claiborne, dan Editor's Pustaka Time-Life

Thursday 8 May 2014

Posted by Unknown
No comments | 08:01

By Sophia Yan and Charles Riley  @CNNMoneyTech January 17, 2014: 1:56 AM ET
·               
Apple CEO Tim Cook and China Mobile Chairman Xi Guohua pass out autographed iPhones in Beijing.


HONG KONG (CNNMoney)
China Mobile started selling iPhones on Friday after years of feverish anticipation and protracted negotiations with Apple.
Apple CEO Tim Cook marked the occasion with a trip to a China Mobile store in Beijing, where he and China Mobile Chairman Xi Guohua handed out autographed iPhones to customers.
Partnering with China Mobile (CHL) gives Apple a needed boost in China, where it has has been losing the smartphone race to competitors offering cheaper options. The deal expands Apple's footprint in the world's most populous country, boosting its potential customer base by 700 million -- more than twice the population of the U.S.
"China is a very, very important geography for Apple, not only for its size, but for many other reasons as well," Cook told reporters Wednesday in Beijing.
Cook was also effusive in his praise for China Mobile and its chairman.
"We saw a company in China Mobile that was unlike any other company we had ever dealt with, that had enormous skill and enormous size and enormous scale and enormous talent," Cook said, according to a transcript published by the Wall Street Journal.
The two companies said they have already received more than 1 million pre-orders for the iPhone. On Apple's China website, a 16 GB iPhone 5s is priced at 5,288 yuan ($874) and a 16 GB iPhone 5c costs 4,488 yuan ($742). The price tag should be lower for China Mobile subscribers, depending on the subsidies offered by the carrier.
Analysts have estimated Apple (AAPLFortune 500) could sell as many as 24 million iPhones this year through state-owned China Mobile, although others think the number will be closer to 10 million.
Will the iPhone succeed in China?
Until now, Apple has only been able to offer the iPhone through China Mobile's smaller competitors, China Unicom (CHU) and China Telecom (CHA), which have about 425 million subscribers combined.
Having access to state-owned China Mobile's large subscriber base is expected to be lucrative for Apple, but the company still has a long way to go in China. The iPhone remains costly compared to smartphones produced by rival firms like Xiaomi.
That point was reinforced during a visit to another China Mobile store in Beijing on Friday, where a woman named Wang, who didn't give her first name, said the phone is too expensive.
"I haven't thought about buying an Apple," she said. "There are so many Chinese brands and I can pick a model based on my income."
Apple also lacks the app store advantage in China that it has in most other countries, as the government censors many offerings on Apple's iTunes App Store, and Chinese customers haven't proven willing to spend money on top-tier apps when they can get free knockoffs.
That has pushed Apple into fifth place in China with just 6% smartphone market share in China, falling behind Samsung (SSNLF)Lenovo (LNVGF), Yulong and Huawei, according to Canalys.
But Cook is perhaps interested in more than just smartphones.
"Apple and China Mobile can do a lot more things together," Cook said. "I really see today as a beginning, not the end. Our work just begins."

-- CNN's Dayu Zhang and David McKenzie contributed reporting. To top of page
Posted by Unknown
No comments | 07:57
Falsafah Pancasila diyakini sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang sesuai dengan aspirasinya, kenyakinan ini dinuktikan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak awal pembentukan Negara kesatuan RI sampai sekarang. Konsep wawasan nusantara berpangkal pada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama yang kemudian melahirkan hakikat misi manusia Indonesia yang terjabarkan pada sila-sila berikutnya. Wawasan nusantara sebagai aktualisasi falsafah Pancasila menjadi landasan dan pedoman bagi pengelolaan kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Laut bebas/lepas berada di wilayah laut selain perairan pedalaman, perairan kepulauan, perairan teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.  Oleh karena itu aturan dan hukum yang mengatur tentang laut bebas/lepas berada pada suatu badan otorita Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Salah satu badan hukum yang mengatur tentang laut lepas yaituUnited Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum laut dan telah di tandatangani oleh 118 negara termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982.  Konvensi ini merupakan kelanjutan dari Konvensi Jenewa tahun 1958 yang telah menghasilkan 3 konvensi yaitu : (1) Konvensi mengenai Pengambilan Ikan serta Hasil Laut dan Pembinaan Sumber-sumber Hajati Laut Bebas; (2) Konvensi mengenai Dataran Kontinental; (3) Konvensi mengenai Laut Bebas.

Untuk melihat tanggapan Negara dan Bangsa Indonesia tentang hasil-hasil konvensi tersebut dan kesusaian hukum kepulauan dan perairan Indonesia serta sosialisasi kepada Negara dan Bangsa Indonesia maka hasil konvensi tersebut terlebih dahulu harus diratifikasi (disahkan) dalam bentuk Undang-Undang Negara Republik Indonesia.

Hasil ratifikasi Konvensi Jamaica 1982 tertuang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut.

Dalam UU No. 17 Tahun 1985 pada point Umum dijelaskan bahwa Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Jamaica 1982 mengatur rejim-rejim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, yang rejim-rejimnya satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Ditinjau dari isinya, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut  terdiri atas :
1.    Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang sudah ada, misalnya kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial;

2.    Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria Landas Kontinen. Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut kriteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitasi. Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut;

3.    Sebagian melahirkan rejim-rejim hukum baru, seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional.

Negara dan Bangsa Indonesia yang memiliki kewilayahan laut begitu luas dan sangat memerlukan rejim-rejim hukum laut agar pengawasan dan perlindungan wilayah laut terutama ancaman dari luar agar dapat diatasi.   Selain itu rejim hukum Negara Kepulauan mempunyai arti dan peranan penting untuk memantapkan kedudukan Indonesia sebagai Negara Kepulauan dalam rangka implementasi Wawasan Nusantara sesuai amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.  Yang dimaksud dengan "Negara Kepulauan" menurut Konvensi ini adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

Hal-hal demikianlah yang melatarbelakangi perlunya Konvensi Jamaica 1982 disahkan dalam bentuk UU Republik Indonesia, yaitu UU No. 17 tahun 1985 yang melampirkan naskah asli Jamaica 1982.

Sesuai dengan Konvensi Genewa tahun 1958, Pasal 1 UU No. 19 tahun 1961 bagian konvensi tentang Laut Lepas, definisi atau Istilah "laut lepas" berarti semua bagian laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau perairan pedalaman sesuatu negara.  Pada definisi ini, Negara dan Bangsa Indonesia hanya memiliki kedaulatan penuh pada wilayah laut sampai 12 mil saja (laut teritorial) dan selebihnya adalah laut bebas serta belum dikenal tentang wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).

Perihal ini dilengkapi dengan Konvensi Jamaica 1982 yang disahkan dalam UU RI No. 17 tahun 1985 dan menyatakan bahwa Laut Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial perairan pedalaman dan perairan kepulauan (Artikel 86 UNCLOS Jamaica 1982 disahkan).

Untuk setiap zona maritim Konvensi (UNCLOS) 1982 memuat berbagai ketentuan yang mengatur tentang penetapan batas-batas terluarnya (outer limit) dengan batas-batas maksimum yang ditetapkansebagai berikut:

1.      Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara:12 mil-laut;
2.      Zona tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus: 24 mil-laut;
3.      Zona ekonomi eksklusif:200 mil-laut;
4.      Landas kontinen: antara 200–350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil-laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter.

Di samping itu Konvensi 1982 juga menetapkan bahwa suatu negarakepulauan juga berhak untuk menetapkan:

5.      Perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya;
6.      Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya; (Sunyowati, Ddan Narwaty E,. 2004)

Arti penting pengesahan Konvensi Jamaica 1982 bagi Bangsa dan Negara Indonesia adalah sebagai berikut :

1.      Pengesahan Konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.

2.      Pengakuan resmi asas Negara Kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.  Deklarasi Juanda, menyatakan “Bahwa perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian-bagian pulau yang termasukdaratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yangwajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairannasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia.  Hal ini sangat berbeda dengan yang diatur dalam TZMKO (Territoriale Zee-en Maritime Kringen Ordonantie) tahun 1933, tercantum dalam Staatsbad 1933 Nomor 422, berlaku mulai tanggal 25 September 1933, yang merupakan warisan pemerintah Hindia Belanda.
Pasal 1 Ordonansi tersebut menyatakan bahwa lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil laut diukur dari garis air rendah dari pulau-pulau yang termasuk dalam daerah Indonesia sehingga Apabila menggunakan pasal tersebut untuk mengukur lebar laut territorial, maka sebagian besar dari pulau-pulau atau kelompok pulau-pulau akan mempunyai laut territorial sendiri dan sebagai akibatnya di antara laut-laut tersebut akan terdapat bagian-bagian dari laut bebas (Sunyowati, D dan Narwaty E,. 2004).

3.      Indonesia sebagai negara yang berhadapan dengan laut bebas/lepas akan memiliki peran yang lebih, dalam hal ikut mewujudkan perdamaian dunia.

Undang-undang pendukung lahirnya UU No. 17 tahun 1985 yaitu  :

1.      UU RI No. 4 tahun 1960 tentang Persetujuan Perjanjian Persahabatan Antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu.  Persetujuan perjanjian persahabatan dilakukan Sesuai dengan politik luar negeri Republik Indonesia yang bebas dan aktip serta politik tetangga baik yang kita anuti, dan sesuai pula dengan azas-azas Konperensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, Pemerintah senantiasa berusaha untuk mengadakan dan memelihara perhubungan persahabatan dengan negara-negara seluruh dunia umumnya dan dengan negara-negara tetangga serta negara-negara Asia-Afrika khususnya.
Sebagai perwujudan dari usaha ini telah diadakan perjanjian- perjanjian persahabatan dengan Mesir, Syria, India, Pakistan, Burma, Philipina, Thailand, Afganistan, Irak dan Iran.
Negara-negara Asia-Afrika Persekutuan Tanah Melayu adalah negara tetangga yang berbatasan paling dekat dengan Republik Indonesia, sehingga bermacam-macam lalu-lintas terus-menerus berlangsung antara kedua negara itu.
Selain dari itu Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu terletak disatu bagian dimuka bumi ini, mempunyai riwayat/ sejarah yang mengandung banyak persamaan-persamaan, dan setelah kedua-duanya mencapai kemerdekaan sekarang sama-sama berusaha membangun serta sama-sama menyusun rumah tangganya masing-masing. Pun sebagian besar dari rakyat Persekutuan Tanah Melayu berasal dari keturunan yang sama, mempunyai bahasa dan kebudayaan yang bersamaan, memiliki sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan serta kepercayaan-kepercayaan yang bersamaan juga dengan rakyat Republik Indonesia. Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu juga mempunyai persamaan kepentingan dalam dunia perdagangan karena kedua negara sama-sama merupakan penghasilan karet dan timah yang terutama didunia.
Akhirnya pada implementasinya sekarang UU No. 4 tahun 1960 ini, dinyatakan tidak berlaku karena telah diperbaiki dan digantikan dengan UU RI No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

2.     UU RI No.  19 Tahun 1961 Tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut.
UU RI No. 19 Tahun 1961 merupakan undang-undang yang dibuat untuk meratifikasi (mensahkan) Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut  yang lebih dikenal dengan Konvensi Jenewa 1958. Konperensi Internasional mengenai Hukum Laut (Conference on the Law of the Sea) di Jenewa tahun 1958 dimana Republik Indonesia ikut serta hadir, telah menghasilkan tiga konvensi, yaitu:
a.       Konvensi mengenai Pengambilan Ikan serta Hasil Laut dan Pembinaan Sumber-sumber Hajati Laut Bebas;
b.      Konvensi mengenai Dataran Kontinental;
c.       Konvensi mengenai Laut Bebas.
Konvensi-konvensi tersebut telah ditandatangani oleh Ketua Delegasi Republik Indonesia ke Konperensi Jenewa tersebut. Ikut sertanya Republik Indonesia sebagai anggota dari tiga konvensi termaksud adalah sudah sewajarnya, mengingat bahwa Republik Indonesia adalah merupakan suatu Negara kepulauan, dan dengan demikian Indonesia mempunyai kepentingan terhadap segala sesuatu yang mempunyai segi Hukum Laut.Menurut ketata-negaraan kita, persetujuan atas tiga Konvensi termaksud, berdasarkan pasal 11 Undang-undang Dasar, memerlukan persetujuan dengan Undang-undang.

Pengesahan UNCLOS Jamaica 1985 melihat beberapa pertimbangan sebagai berikut :

·         United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) telah diterima baik oleh Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga di New York pada tanggal 30 April 1982 dan telah ditandatangani oleh Negara Republik Indonesia bersama-sama seratus delapan belas penandatangan lain di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982.

·         United Nations Convention on the Law of the Sea mengatur mengatur rejim-rejim hukum laut, termasuk rejim hukum Negara Kepulauan secara menyeluruh dan dalam satu paket.

·         Rejim hukum Negara Kepulauan mempunyai arti dan peranan penting untuk memantapkan kedudukan Indonesia sebagai Negara Kepulauan dalam rangka implementasi Wawasan Nusantara sesuai amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Penjelasan pengesahan yang terdapat di dalam UU No. 17 Tahun 1985 adalah sebagai berikut :

·         Ditinjau dari isinya, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Jamaica 1982 merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut Jenewa 1958, misalnya kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial;

·         Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas yang menetapkan Laut Lepas dimulai dari batas terluar Laut Teritorial, Konvensi Jamaica 1982 menetapkan bahwa Laut Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial perairan pedalaman dan perairan kepulauan.

·         Kecuali perbedaan-perbedaan tersebut di atas, pada dasarnya tidak terdapat perbedaan antara Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Jamaica 1982 mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan di Laut Lepas.

Dalam UNCLOS Jamaica 1982 khususnya pada Part VII tentang High Seas dimuat beberapa hal yang menyangkut biofisik, sosial ekonomi, hukum dan perundangan (sanksi) dan juga kebijakan-kebijakan. Karena berada dalam kewilayahan laut bebas, maka persoalan sosial ekonomi memang tidak terlalu banyak menjadi pembahasan seperti pada bagian perairan lainnya yaitu hanya 0,31% yang termuat dalam Artikel 88 yang menyatakan bahwa ketetapan-ketetapan aturan pada laut bebas/lepas adalah bertujuan untuk perdamaian.
Perihal yang paling banyak dibahas khususnya di laut lepas/bebas yaitu kebijakan (4,37%), hukum dan perundang-undangan (4,06%) termasuk sanksi serta biofisik (1,87%) dari total artikel (pasal) sebanyak 320.

Biofisik menyangkut manajemen dan konservasi lingkungan di laut bebas/lepas dimana setiap Negara memiliki tugas dan kewajiban untuk bekerja sama di dalam menjaga lingkungan perairan di laut bebas/lepas dari pencemaran bahan radioaktif, limbah industri dan bahan-bahan pencemar lainnya.

Hukum dan perundang-undangan termasuk sanksi mengatur bahwa setiap kapal wajib mengibarkan bendera negaranya ketika melintas di jalur laut bebas serta di larang keras setiap kapal melakukan tindakan-tindakan illegal seperti pengangkutan tenaga kerja illegal, perampokan dan pembajakan.

Kebijakan menyatakan bahwa aturan high seas tidak berlaku pada perairan lainnya (ZEE, territorial, perairan kepulauan dan pedalaman) dan semua Negara tanpa terkecuali baik Negara yang memiliki pantai maupun tidak berada pada pengawasan atau di bawah control aturan international.  Tetapi dilain pihak setiap Negara juga memiliki kebebasan-kebebasan yang dapat dilakukan di laut bebas/lepas.

Ada beberapa kelemahan dari aturan ini, yang terdiri atas :

1.    Aturan ini menyatakan bahwa segala aktivitas di laut lepas/bebas dalam kendali aturan ini dan hukum international.  Pernyataan tersebut ternyata belum didukung dan dijelaskan lebih lanjut yaitu kepada siapa pemberian kewenangan pengawasan dan penjagaan di laut lepas/bebas.
2.     Setiap kapal yang melintas di laut bebas/lepas diwajibkan mengibarkan bendera kebangsaan.  Syarat ini ternyata terlalu mudah karena setiap kapal akan mudah berganti bendera sesuai dengan keinginannya seharusnya diwajibkan setiap kapal memiliki nama dan warna khusus yang terlebih dahulu telah didaftarkan pada PBB.
3.    Walaupun konvensi ini menyatakan bahwa di kawasan laut lepas tidak satupun negara yang berdaulat, tetapi sangat memungkinkan bagi negara-negara yang berteknologi maju dan tinggi dalam navigasi, ekplorasi laut dan penangkapan ikan beroperasi di wilayah tersebut sehingga terjadi pemanfaatan yang non-kompetitif.

Selain kelemahan ada kelebihan-kelebihan dari konvensi ini, khususnya bagi Negara dan Bangsa Indonesia.  Kelebihan-kelebihan tersebut adalah sebagai berikut :

1.     Dengan diakuinya asas Negara Kepulauan, maka perairan yang dahulu merupakan bagian dari Laut Lepas kini menjadi "perairan kepulauan" yang berarti menjadi wilayah perairan Republik Indonesia.
2.     Dengan ikut sertanya Indonesia menandatangani konvensi Jamaica 1982,  secara langsung Indonesia mendapat pengakuan secara  International tentang wilayah laut berdaulat dan kebebasan-kebebasan dalam wilayah laut Lepas/Bebas.
3.    Indonesia sebagai negara yang langsung berhadapan dengan laut lepas/bebas secara langsung mendapat perlindungan hukum international dari upaya-upaya pencurian hasil laut, pencemaran laut, pembajakan dan perdagangan illegal.
4.    Dengan kesepakatan konvensi maka batas-batas kedaulatan wilayah laut suatu negara termasuk Indonesia semakin jelas, seperti perairan kepulauan, teritorial, ZEE, landas kontinen dan Laut Lepas/Bebas.

Dalam operasionalisasinya konvensi ini diperlakukan untuk semua negara baik itu negara pantai (coastal state) maupun negara tidak berpantai (land-locked state).  Operasionalisasinya ditekankan pada wilayah laut dimana semua negara (all state) memiliki hak, kebebasan dan tanggung jawab yang sama terhadap wilayah tersebut termasuk pemanfaatan kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanahnya.

Setiap negara harus menghormati perjanjian-perjanjian internasional yang sudah ada, Negara Kepulauan berkewajiban pula menghormati hak-hak tradisional penangkapan ikan dan kegiatan lain yang sah dari negara-negara tetangga yang langsung berdampingan, serta kabel laut yang telah ada di bagian tertentu perairan kepulauan yang dahulunya merupakan Laut Lepas.

Segala aktivitas semua negara terhadap kawasan laut lepas/bebas termasuk dasar laut dibawahnya dikoordinasikan oleh badan yang dibentuk oleh PBB misalnya untuk pemanfaatan kekayaan alam dasar laut dikoordinasikan oleh Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority).



DAFTAR PUSTAKA


Suhendar, S.  2005.  Laut dan Pesisir.  Buku Pedoman Geografi.  Jakarta.
Sunyowati, D dan Narwaty E,. 2004.  Penetapan Dan Penataan Batas Wilayah Laut Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Fakultas Hukum Universitas Airlangga.  Surabaya.
UU RI No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut. LN 1961/276; TLN NO. 2318.  Deplu RI.  Jakarta.
United Nations Convention On The Law Of The Sea, 1982. Montego Bay, Jamaica.  PBB. (http://www.unsrat.ac.id, diakses 23 Pebruari 2008).



Blogroll

About