Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Monday 15 July 2013

Posted by Unknown
No comments | 10:43

Oleh : Dwi Adhi Putra
Sang surya telah tergelincir. Langit tampak memerah, setidaknya setelah impuls warna biru dengan peradangan sinar matahari yang jatuh ke selaput mata. Udara saat itu telah merubah sikapnya menjadi dingin, tak seperti sebelumnya yang merangkul dengan penuh kehangatan. Hari itu adalah hari sabtu. Siswa-siswi dipulangkan lebih awal. Setidaknya dua jam lebih awal sebelum adzan maghrib dikumandangkan.
  “Kriing…kriing…kring…,” nada dering panggilan dari sebuah HP milik salah seorang siswa SMU TARUNA BUMI. Sebut saja Adhi. Parasnya begitu manawan dengan pakaian rapi yang dikenakannya dan potongan rambut gaya syegi yang begitu melengkapi kesempurnaan parasnya. Banyak sekali gadis-gadis yang mengejarnya berharap biasa menjadi pasangan hidupnya.
            “Halo, Pa?” Suara halus yang indah telah ia keluarkan untuk menjawab panggilan dari sang Papa.
            “Cepatlah pulang! Kamu tidak ada kegiatan bukan?” Telepon Papa via HP. Sangat tumben sekali beliau telepon ke HP Adhi. Sejak ia dibelikan HP SAMSUNG oleh mama saat ulang tahunnya yang ke -18 lalu, tepatnya satu gross hari yang lalu dan tercatat papa baru dua kali calling dan tiga kali kirim SMS ke HP Adhi.
            “Ada apa tho, Pa?” Logat ke-Yogyakartaannya mulai terlihat.
            “Papa ingin jalan-jalan bareng sama Kamu dan Mama. Refreshing-lah…! Papa jenuh dengan kehidupan Papa salama ini.”
            “Kemana, Pa?” Sahut Adhi dengan persaan yang sedikit aneh.
            Wajar saja, Papa yang dikenal Adhi adalah sosok yang selalu sibuk dengan pekerjaannya yang seabrek-abrek, dan berperan sebagai gladiator yang selalu menuntut Adhi untuk menjadi lelaki sejati yang dapat meneruskan pekerjaannya itu tiba-tiba saja berubah menjadi papa yang cukup menyenangkan.

            “Puncak Dieng! Villa kita yang di sana sudah lama tidak kita tempati.” Jawab sang Papa.
            Yah, itu karena kesibukan Papa. Kesempatan bersantai bersama keluarga nyaris semua tergadai. Bagaimana mungkin, anak semata wayang itu tidak berkutub kepada sang Mama. Ya, profil yang melekat selama delapan belas tahun usianya itu adalah profil sang Mama. Adhi sangat ingat kehadiran papanya di rumah selalu ia tanggapi dengan kesibukan-kesibukannya membaca komik dan novel-novel islami. Tak jarang ia juga hanya bermain game computer. Papa sendiri nampaknya juga kurang tertarik untuk ngobrol dengan anak itu.
            “Iya deh, Pa. Adhi pulang secepatnya.”
            “Papa tunggu, lho..!”
            “Siap, Pa!”
Seperti ada kedekatan antara dua sosok beda generasi itu. Adhi melangkahkan kakinya panjang-panjang berharap dapat segera mencapai rumah. Jarak yang hanya berkisar seratus meter dari sekolahnya itu nampak begitu jauh. Mungkin karena getaran jiwa yang sudah lama tidak Adhi rasakan, sehingga terasa begitu melankolis.
“Assalamu’alaikkum…!” Sapa Adhi.
Dua sosok manusia menyambut dengan senyuman manis yang begitu melenakan jiwa. Papa yang begitu tampan dan gagah dengan pakaian sportinya dan mama yang tampil bagitu cantik mempesona dengan busana muslim berwarna pink yang begitu kontras. Betapa serasi mereka di mata Adhi. Mendadak Adhi ingin sekali memeluk keduanya dengan erat.
“Sudah siap, Dhi?” Tanya sang Papa.
“Barang-barangmu sudah kami siapkan. Tinggal ganti baju saja. Untuk makan, nanti kita cari warung di perjalanan.” Kata sang Mama dengan lembut.
“Oke, Ma! Tunggu sebentar ya?”
Dalam waktu sepuluh menit Adhi telah siap. Dengan sepatu, celana gunung, kaos oblong, jaket dan topi ala Indiana Johns melekat pada pemuda itu. Ia juga melengkapi barang-barang pribadinya dengan buku-buku komik dan koleksi novel islami kesanyangannya.

Papa membuka pintu panthernya. Sengaja menggunakan yang panther karena selain dinilai tangguh juga dapat memuat banyak barang. Begitu masuk, terlihatlah seabrek-abrek barang bawaan untuk liburan mereka telah memenuhi  jok belakang. Ada sepeda gunung, rock climbing, tenda, tiga buah ransel, dan beberapa perlengkapan liburan lainnya berdesak-desakan ingin ikut berlibur. Sang Papa duduk di depan sebagai driver dengan didampingi permaisurinya, Mama. Sedangkan Adhi duduk di jok tengah sendirian. Yah, begitulah nasib seorang anak semata wayang. Apapun selalu sendiri. Tidak ada yang digodain, dimanjain, dicubitin, dicurhatin, bahkan diajak berantem. Tapi setidaknya Adhi masih punya seorang mama yang selalu perhatian dengannya setiap waktu dan seorang papa yang ternyata masih bisa meluangkan waktunya untuk keluarga.
Sebenarnya, Adhi mempunyai dua orang adik. Tapi mungkin belum saatnya sehingga Allah telah mengambilnya kembali. Adik pertamanya sudah berusia enam tahun, namun akhirnya dia pulang ke rahmatullah setelah gugur di medan pertempurannya melawan penyakit kanker otak. Sedangkan adik keduanya meninggal dunia saat berusia tujuh bulan dalam kandungan sang Mama karena keguguran. Ya, padahal dia belum melihat dunia, tapi sudah say goodbye duluan. Tapi mungkin itu adalah rencana Allah, dan rencana-Nya selalu untuk menjadikan hambanya yang terbaik.
Dari balik jendela mobil itu, Adhi memandangi indahnya pemandangan  disepanjang perjalanan menuju Dieng. Terlihatlah hamparan kebun kopi yang sangat luas mencapai ratusan hektar. Daun-daunnya begitu hijau dan bunganya mulai memutih. Bau harumnya sangat semerbak wangi. Jalan yang dilewati dengan penuh liku-liku itu telah terbayar lunas dengan pemandangan yang begitu asri. Bahkan selama perjalanan, sang Papa telah menunjukan betapa ahlinya ia mengemudikan mobil panthernya dalam medan yang penuh liku-liku itu.
“Kalian mau minum es kelapa muda?” Tanya Papa,
“Papa, pernah mampir disebuah warung dekat tikungan di ujung sana, rasanya segar sekali, lho..” Tambah sang Papa.
“Wah, boleh juga itu, Pa! Ayo Ma, kita juga ikut nyoba.” Seru Adhi.


Mobil panther itu pun diparkir di dekat warung tersebut. Warung itu mencoba menunjukkan keramahtamahannya. Senyum lebar tersungging dari bibir tuan pemilik warung itu. Warung yang terbuat dari kombiansi kayu dan bilah bambu itu tampak bagitu menyenagngkan. Tikar yang tergeletak lemas tak berdaya karena tertindih meja kecil untuk menghidangkan es kelapa muda. Papa duduk bersila sambil menggerak-gerakkan kepala dan lengannya mencoba memulihkan kebugarannya. Sang Mama membantu papa dengan memijit-pijit bahu sang Papa. Adhi lebih memilih untuk melompati pagar dan memetik sepucuk bunga kopi yang sangat harum di sana.
“Adhi, es kelapa mudanya sudah datang. Ayo ke sini !” Ajak sang Mama.
“Baik, Ma. Aku ke sana sekarang.” Jawab Adhi sambil melompat dari kebun kopi yang tempatnya lebih tinggi dari jalanan itu. Adhi kemudian memberikan sepucuk bunga kopi itu kepada sang Mama tercinta.
“Jadi keinget masa muda dulu ya, Ma. Ingatkan waktu Papa kasih Mama bunga?” Kata Papa.
“Apa? Papa pernah ngasih Mama bunga? Benarkah itu, Ma?” Tanya Adhi dengan perasaan setengah tidak percaya.
“Iya, tapi terus Mama buang ke tempat sampah.” Jawab Mama judes.
“Lho, kok dibuang, Ma? Kan sayang.” Adhi heran.
“Sebenernya  bunga itu bukan buat Mama, tapi untuk gadis idaman Papa. Karena ditolak maka bunga itu terus dikasihkan ke Mama. Ya, Mama buang! Masa, Mama dikasih bunga bekas !” Jelas sang Mama.
“Padahal, Mamamu itu dulunya adalah salah satu wanita yang menjadi idaman banyak pria lho..” Balas Papa.
“Sudah-sudah, yang pentingkan sekarang Mama sudah jadi milik Papa!” Tegas Mama.
“Nogmong-ngomong kamu udah punya pacar belum?” Tanya sang Papa.


“Adhi maunya langsung menikah aja Pa, Adhi gak mau pacaran! Karena menurut Adhi laki-laki yang telah menyatakan cintanya tapi tidak menjadi pasangan sahnya, itu bukan laki-laki yang genthel, Pa. Karena kalau pacaran itu pasti putus nambung putus nyambung terus, gak sehat ah, Pa.” Ucapnya.
“Papa dulu menikah dengan ibumu juga tanpa melalui pacaran lho..” Sahut Papa.
“Iya, tapi setelah Papa memacari beberapa gadis sebelum Mama.” Balas Mama.
“Lho, kalau dihitung-hitung Papa ini laki-laki keberapa Mama?” Papa tidak mau kalah.
“Sudah-sudah, masa lalu itu untuk dikenang bukan diperdebatkan seperti ini ! Yuk, Pa, Ma, kita lanjutkan perjalanan.!” Lerai Adhi.
Mereka pun bergegas masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanannya setelah membayar ongkos es degan mereka. Setelah kurang lebih dua jam mereka terpenjara dalam mobil, akhirnya mereka tiba di depan sebuah villa dengan warna cat kuning cerah yang memancarkan kemegahannya. Papa menempatkan mobil panthernya di samping villa itu. Seturun dari mobil, mereka disambut oleh seseorang berpeci, berambut keriting, berkumis tebal dan berjenggot. Ia mengenakan kaos lengan panjang dan celana bermotif kotak-kotak. Meski demikian wajahnya menggambarkan keramahan. Seandainya Ia juga mengenakan sarung bermotif kotak-kotak yang dikalungkan pada lehernya, Ia akan tampak seperti pahlawan yang melegenda, Lutung Kasarung. Yah, hampur mirip. Tapi sayang itu bukan dia. Orang yang telah menyambut kami itu bernama Pak Wiratmo. Dulu Pak Wiratmo adalah seorang pelaut. Namun karena perusahaannya bangkrut, Pak Wiratmo kena PHK. Setelah itu dia ditinggalkan oleh anak dan istrinya, karena mereka tidak ingin hidup bersama lagi dengan Pak Wiratmo yang sudah miskin itu. Akhirnya ada seorang teman Papa yang mempertemukan Papa dengan Pak Wiratmo. Papa pun mengangkat Pak Wiratmo sebagai tukang kebun sekaligus penjaga villa ini.
Tanpa bertele-tele, Adhi mulai menurunkan semua barang bawaannya. Dengan sigap Ia mendirikan dua buah tenda sekaligus, di bumi perkemahan dekat villa ayahnya itu. Satu tenda warna biru untuk Pak Wir dan Adhi sedangkan yang satunya berwarna merah untuk Mama dan Papa. Sambil menunggu Adhi selesai mendirikan tenda, Pak Wir dan Papa mencari kayu bakar untuk api unggun. Sebenarnya kalau mau beli juga banyak yang menjualnya, tapi itu adalah sebagai pilihan terakhir jika mereka tidak mendapatkan kayu bakar.
Malam telah datang. Selembar tikar tergelar di atas rumput yang hangat. Api unggun yang berjarak satu meter itu begitu atraktif meluik-liuk ke atas mencoba menglahkan gelapnya malam. Kehangatan cinta diantara mereka menghalagi suhu udara yang dingin ke arah mereka. Pak Wir sibuk dengan membolak-balik daging panggangnya. Aroma harumnya begitu memikat, masuk melalui lubang hidung, diterima impuls dilanjutkan oleh saraf untuk menghantarnya sampai keotak dan didistribusikan sampai ke otot-otot perut sehingga rasa lapar pun menerjang perut mereka.
“Pak Wir, kenapa ya papa dan mama mesra sekali malam ini? Tidak seperti biasanya begitu?” Tanya Adhi penasaran.
“Den Adhi tahu sekarang tanggal berapa? Coba Aden ingat.” Jawab Pak Wiratmo.
“Tanggal 18 November 2012. Memangnya kenapa? Kok malah nanya tanggal?” Adhi Bingung.
“Hari ini adalah hari universary pernikahan Papa dan Mama Aden.” Jelas Pak Wir.
“Pantas!!” Adhi telah menerjemahkan apa yang telah dijelaskan oleh Pak Wir, dan Adhi telah mengerti tentang perubahan-perubahan menakjubkan dari sang Papa.
Namun tiada terduga suasana harmonis itu terpecah oleh suara desingan mesin yang agak aneh. Seperti berasal dari arah hutan belakang villa yang agak jauh. Dari situlah rasa keingintahuan Papa, Pak Wiratmo dan Adhi tumbuh. Rasa itu bergejolak dalam jiwa menyulut adrenalin yang memacu tubuh mereka untuk mendekati sumber suara tersebut dan memeriksanya. Bertiga, Papa, Pak Wir dan Adhi melakukan ekspedisinya malam itu. Sedangkan sang Mama menunggu di tenda sambil meneruskan pekerjaan Pak Wir, memanggang daging. Langkah demi langkah mereka melewati semak-semak dan pepohonan. Tiga buah senter ikut menemani langkah mereka. Malam itu tampak kurang bersahabat. Bulan enggan menampakkan paras indahnya. Sang bintang juga hanya melirikkan cahayanya samar-samar tertutup oleh awan mendung.semakin mendekati sumber suara itu, mereka memperlambat jalannya dan mulai ngendap-endap. Menyelinap di balik semak-semak dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Seperti sedang melakukan pencurian kayu, Pa.! Mungkin mereka adalah pembalak liar.!” Bisik Adhi.
“Sepertinya begitu.” Jawab sang Papa.
Mengintai dan memata-matai pergerakan orang-orang asing itu. Mencoba mendapatkan data dengan lengkap dan konkrit untuk dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
“Kriiing..kriiing…kriiiing…” Suara HP Adhi Berdering.
Rupanya Ia lupa untuk mengheningkan HP-nya itu. Sehingga suara itu memicu sebuah keributan. Pengintaian mereka terbongkar. Salah seorang dari mereka berteriak, “siapa di sana?”
“LARIIII…!!” Teriak sang Papa.
Mereka bertiga lari secepat mungkin, berharap tidak ada yang dapat mengejar mereka. Jantung berdegup sangat kencang. Darah serasa berjalan begitu cepat dari kepala sampai kaki. Keringat yang biasanya enggan memperlihatkan wujudnya kini keluar begitu deras. Lari. Kata itulah yang mereka ingat. Adhi dan Pak Wir terus berlari tanpa menengok ke arah belakang. Sementara itu bunyi dering dari HP Adhi masih terdengar sampai meraka tiba di tepi hutan itu.
“Halo, Ma. Tolong segera telepon polisi. Ada pembalakan liar disini ! cepat, Ma ! tidak ada waktu lagi..!!” Ucapnya via telepon kepada sang Mama.
Ternyata telepon dari sang Mama yang mengkhawatirkan keselamatan anaknya yang berujung sebuah kekacauan. Rasa takut dan panik bercampur menjadi satu. Tak ada yang lain yang mereka pikirkan selain bisa lolos dari tempat pembalakan liar yang menakutkan itu. Mereka bisa lolos namun keganjilan mulai terjadi ketika mereka mendengar suara tembakan dari arah hutan tempat dimana pembalakan liar itu terjadi.
“Papaaa..!!” Jeritan keras ndari Adhi yang merasa bersalah telah melarikan diri tanpa melihat kedaan Papanya sebelumnya.
Air mata menggenang di katup matanya. Mengalir melalui kedua bilah pipinya. Pak Wir mencoba menenangkan Adhi dengan berkata bahwa Papanya pasti selamat, dan suara tembakan itu hanya sebagai gertakan belaka. Seiring dengan keluarnya teriakan dari mulutnya, Adhi mulai kehilangan energi dalam tubuhnya, Ia mulai melemas, wajahnya pucat dan detak jantung serta napasnya tidak beraturan. Pak Wir terus mencoba menenangkan  dan meyakinkan Adhi bahwa Papanya masih hidup dan selamat. Sampai akhirnya Mama beserta rombongan polisi datang kesana. Polisi-polisi itu sangat lihai menerobos hutan dan dapat dengan cepat menangkap pembalak liar itu. Namun suasana menjadi sangat berbeda ketika para polisi itu membawa keluar sebuah jenazah seorang laki-laki. Setelah diperiksa ternyata itu adalah jenazah sang Papa yang telah gugur dalam ekspedisi mereka. Adhi kembali mengeluarkan air matanya sebagai tanda berduka dan penyesalan yang amat dalam. Sang Mama yang baru datang pun langsung roboh pingsan karena melihat suaminya terkapar tanpa nyawa. Pak Wiratmo yang tadinya mencoba meyakinkan bahwa tuannya selamat dan masih hidup kini telah putu asa dan merasa bersalah. Karena dalam pikirnya seharusnya Ia yang menyelamatkan Tuan Papa dan Tuan Muda dengan nyawanya sendiri. Tapi ternyata malah Tuan Papa yang menyelamatkan hidupnya. Malam itu tak pernah terprediksikan oleh siapun. Dan polisi mencoba menenangkan mereka bertiga yang begitu merasa kehilangan. Setelah berjam-jam kemudian mereka berhasil diatasi.
Pada keesokan harinya, Mama memutuskan untuk pulang dan memakamkan jenazah sang Papa di makam yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Sampai di rumah prosesi upacara pemakamanpun dimulai. Semakin siang semakin banyak orang yang datang untuk turut berduka cita. Upacara pemakaman itu selesai setelah jenazah berhasil dikebumikan.
“I love you, Dad.” Kata terakhir Adhi untuk sang Papa.
Ia sadar bahwa setiap makhluk-Nya pasti akan kembali kepada-Nya. Namun Ia tidak menyangka jika kepergian Papanya akan secepat ini.
“Papa, sekarang aku paham. Bahwa setiap makhluk hidup memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyampaikan rasa kasih sayangnya. Dan kasih sayang itu tidak akan pernah terhapus oleh waktu. Karena setiap hari pasti ada kasih sayang yang menumbuhkan cinta. Jadi tiada hari tanpa cinta, kasih dan sayang. Dan kasih sayang yang abadi adalah kasih sayang dari-Nya untuk makhluk-Nya.  Ya, kau benar, Pa. That every day is love day.” Air mata kembali membasahi pipinya setelah sebelumnya telah Ia usap. Kesedihan yang manusiawi.

Blogroll

About