"Terkadang
kenyataan ga selalu sesuai sama yang kita inginkan. Terkadang kita
harus nunggu lebih lama buat ketemu orang yang kita sayang." - Niki
Film terbaru dari Maxima Pictures, Refrain,
beranjak dari novel laris bertajuk sama yang dikreasi oleh Winna
Efendi. Mengingat pangsa pasar yang disasar adalah remaja, maka yah...
apa yang dituturkan di sini tidak jauh-jauh dari problematika percintaan
segi rumit diantara sejumlah remaja SMA. Yang menjadi ‘korban’ asmara
untuk sekali ini terdiri dari Niki (Maudy Ayunda), Nata (Afgansyah
Reza), dan Annalise (Chelsea Elizabeth Islan). Sementara Niki dan Nata
telah menjadi sahabat karib semenjak mereka masih bocah, maka Anna
adalah siswi pindahan yang baru saja memasuki kehidupan mereka. Apabila
ini berlangsung di kehidupan sesungguhnya, segalanya tidak akan berjalan
kelewat berliku serta cenderung lurus. Tapi berhubung ini adalah film
romansa... maka segalanya tidak baik-baik saja. Bisa dipastikan, ada
percikan asmara diantara ketiganya yang sengaja disembunyikan demi
menunggu waktu yang tepat untuk diungkapkan. Namun yang lantas menjadi
pertanyaan (yang sekaligus menjadi konflik utama), kapan waktu yang
tepat itu akan datang menghampiri?
Memertemukan
Fajar Nugros dengan Haqi Achmad dalam sebuah proyek adaptasi untuk
novel remaja bergenre romansa, sejatinya merupakan ide yang bagus.
Masing-masing telah berpengalaman di jalur ini dengan setidaknya satu
karya yang dapat dibanggakan – Fajar melalui Cinta di Saku Celana, sedangkan Haqi lewat Radio Galau FM. Akan tetapi, apa yang sepertinya terlihat bagaikan ‘dream team’
di atas kertas, ternyata tak berjalan sesuai dengan pengharapan di
lapangan. Mereka tidak dibekali dengan materi yang memadai. Nyaris tak
ada sesuatu yang istimewa untuk ditawarkan dalam jalinan penceritaan.
Bisa dibilang, segalanya kelewat sederhana, dangkal, dan hambar. Rasa
manis memang masih bisa dikecap di beberapa bagian, namun sebagian besar
yang lain nyaris tak ada rasa. Bangunan karakter beserta konflik di
sini terlalu lemah. Saya tak merasa terikat dan peduli untuk mengikuti
petualangan cinta Niki, Nata, Anna, dan Oliver (Maxime Bouttier).
Keempat tokoh ini tak pernah menjadi begitu dekat dengan penonton,
hampir tak mempunyai chemistry, dan seolah sibuk dengan urusan
masing-masing. Bukan hal yang bagus, tentu saja. Untungnya, Maudy Ayunda
menyalurkan energi untuk tokoh yang diperankannya secara maksimal dan
pendatang baru Chelsea Elizabeth Islan mudah untuk disukai.
Ketika
paruh awal masih terbilang lumayan menarik untuk disimak, memasuki
paruh akhir... putaran yang cukup drastis terjadi. Konflik demi konflik
menggempur secara beruntun berpotensi menciptakan klimaks yang
menghentak yang sayangnya tak pernah terjadi. Perubahan karakteristik
dari beberapa tokoh yang kelewat ekstrim menjadikan Refrain ‘too weird to be true’.
Berbelok kelewat tajam secara mendadak, tanpa melalui proses bertahap.
Tentu, maksudnya untuk menghasilkan dramatisasi, yang terjadi justru
menjadikan tokoh-tokoh tersebut tak manusiawi dan luar biasa
menyebalkan. Simpati pun gagal tersemat. Untuk memberi sentuhan akhir
yang mengesankan, film lantas diterbangkan ke luar negeri, atau dalam
hal ini Austria – mengingatkan saya kepada film-film buatan Soraya
generasi Shandy Aulia. Sekalipun porsinya terbilang minim, adegan-adegan
yang terjadi di Austria ini terbilang cukup manis. Bisa terasa lebih
manis, jika saja... gambar tidak pecah. Duh. Jauh-jauh menjalani proses
pengambilan di negeri orang hanya untuk mendapatkan gambar yang tak
sedang dipandang. Sungguh sangat disayangkan.
Refrain
bisa jadi akan dengan mudah membuat para remaja yang masih duduk di
bangku sekolah jatuh cinta, terutama berkat para pemainnya yang sedap
dipandang dan kisah percintaannya yang penuh kegalauan. Namun bagi
mereka yang telah melewati fase ini (seperti saya yang tak lagi muda.
Uhuk.)... Refrain akan dengan mudah menguap. Ditilik dari segi
materi promosi, kudu diakui film ini adalah salah satu yang terkuat
tahun ini – bahkan bisa jadi, dalam beberapa tahun terakhir – akan
tetapi sayangnya itu tidak dibarengi dengan filmnya yang hadir dengan
jalinan penceritaan yang lemah dan kekurangan energi dalam membuat
penonton (dari berbagai generasi, tidak hanya remaja) untuk peduli dan
terikat dengan kisah yang digulirkan. Nyaris tak ada greget yang
dirasakan. Sayang sekali, padahal Refrain berpotensi menjadi film romantis yang mengesankan jika ditangani secara tepat.
0 comments:
Post a Comment