FILOSOFI BUSANA PRIA JAWA
Busana adat Jawa biasa disebut dengan busana kejawen mempunyai perlambang
tertentu bagi orang Jawa. Busana Jawa penuh dengan
piwulang sinandhi
(ajaran tersamar) kaya akan ajaran Jawa.
Dalam busana Jawa ini tersembunyi ajaran untuk melakukan segala sesuatu di
dunia ini secara
harmoni yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari,
baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, diri sendiri maupun Tuhan Yang
Maha Kuasa Pencipta segalanya.
- Pakaian
adat yang dikenakan pada bagian kepala adalah, seperti iket, udheng
- Dibagian
tubuh ada rasukan (baju): jarik sabuk, epek, timang
- Dibagian
belakang tubuh yakni keris
- Dikenakan
dibagian bawah atau bagian kaki yaitu canela.
Penutup Kepala
Untuk bagian kepala biasanya orang Jawa kuna (tradisional) mengenakan
iket
yaitu ikat kepala yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi penutup
kepala. Cara mengenakan iket harus
kenceng (kuat) supaya ikatan tidak
mudah terlepas. Makna iket dimaksudkan manusia seyogyanya mempunyai pemikiran
yang kenceng, tidak mudah terombang-ambing hanya karena situasi atau orang lain
tanpa pertimbangan yang matang.
Hampir sama penggunaannya yaitu udheng juga, dikenakan di bagian kepala
dengan cara mengenakan seperti mengenakan sebuah topi. Jika sudah dikenakan di
atas kepala, iket dan udheng sulit dibedakan karena ujud dan fungsinya sama.
Udheng dari kata kerja Mudheng atau mengerti dengan jelas, faham. Maksudnya
agar manusia mempunyai pemikiran yang kukuh, mengerti dan memahami tujuan hidup
dan kehidupan atau sangkan paraning dumadi. Selain itu udheng juga mempunyai
arti bahwa manusia seharusnya mempunyai ketrampilan dapat menjalankan pekerjaannya
dengan dasar pengetahuan yang mantap atau mudheng. Dengan kata lain hendaklah
manusia mempunyai ketrampilan yang profesional.
Busana
Busana kejawen seperti
beskap selalu dilengkapi dengan
benik
(kancing baju) disebelah kiri dan kanan. Lambang yang tersirat dalam benik
itu adalah agar orang (jawa) dalam melakukan semua tindakannya apapun selalu
diniknik, diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang akan dilakukan hendaklah
jangan sampai merugikan orang lain, dapat, menjaga antara kepentingan pribadi
dan kepentingan umum.
Sabuk (ikat pinggang) dikenakan dengan cara dilingkarkan (
diubetkan)
ke badan. Ajaran ini tersirat dari sabuk tersebut adalah bahwa harus bersedia
untuk tekun berkarya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itulah manusia
harus
ubed (bekerja dengan sungguh-sungguh) dan jangan sampai kerjanya
tidak ada hasil atau
buk (impas/tidak ada keuntungan). Kata sabuk
berarti usahakanlah agar segala yang dilakukan tidak
ngebukne. Jadi
harus
ubed atau gigih.
Epek bagi orang jawa mengandung arti bahwa untuk dapat bekerja
dengan baik, harus
epek (apek, golek, mencari) pengetahuan yang
berguna. Selama menempuh ilmu upayakan untuk tekun, teliti dan cermat sehingga
dapat memahami dengan jelas.
Timang bermakna bahwa apabila ilmu yang didapat harus dipahami dengan
jelas atau gamblang, tidak akan ada rasa
samang (khawatir) samang asal
dari kata timang.
Jarik atau
sinjang merupakan kain yang dikenakan untuk
menutup tubuh dari pinggang sampai mata kaki. Jarik bermakna aja gampang
serik
(jangan mudah iri terhadap orang lain). Menanggapi setiap masalah harus
hati-hati, tidak
grusa-grusu (emosional).
Wiru Jarik atau kain dikenakan selalu dengan cara
mewiru
(meripel) pinggiran yang vertikal atau sisi saja sedemikian rupa. Wiru
atau wiron (rimple) diperoleh dengan cara melipat-lipat (mewiru). Ini
mengandung pengertian bahwa jarik tidak bisa lepas dari wiru, dimaksudkan
wiwiren aja nganti kleru, kerjakan segala hal jangan sampai keliru agar
bisa menumbuhkan suasana yang menyenangkan dan harmonis.
Bebed adalah kain (jarik) yang dikenakan oleh laki-laki seperti
halnya pada perempuan, bebed artinya manusia harus ubed, rajin bekerja,
berhati-hati terhadap segala hal yang dilakukan dan
tumindak nggubed ing
rina wengi (bekerja sepanjang hari)
Canela
Canela mempunyai arti Canthelna jroning nala (peganglah kuat dalam
hatimu) canela sama artinya Cripu, Selop, atau sandal. Canela selalu dikenakan
di kaki, artinya dalam menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, hendaklah dari
lahir sampai batin sujud atau manembah di kaki-NYA. Dalam hati hanyalah sumeleh
(pasrah) kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Curiga lan warangka
Curiga atau
keris berujud wilahan, bilahan dan terdapat di
dalam
warangka atau
wadahnya. Curiga dikenakan di bagian
belakang badan. Keris ini mempunyai pralambang bahwa keris sekaligus warangka
sebagaimana manusia sebagai ciptaan dan penciptanya Yatu Allah Yang Maha Kuasa,
manunggaling kawula Gusti. Karena diletakkan di bagian belakang tubuh, keris
mempunyai arti bahwa dalam menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa hendaklah manusia
bisa untuk ngungkurake godhaning setan yaitu menjauhkan godaan setan yang
senantiasa mengganggu manusia ketika manusia akan bertindak kebaikan.
Demikianlah filosofi yang terkandung dalam busana pria jawa . Semoga bisa
menjadikan kita pelajaran hidup. dan menambah wawasan kita tentang budaya jawa
yang adiluhung ini.
sumber :
http://semarasanta.wordpress.com/2007/09/12/busana-jawa-makna-yang-tersirat-dalam-busana-tradisional-jawa-lengkap/
http://kisahbangsa.wordpress.com/2010/07/06/catatan-tentang-busana-adat-jawa/
Posts Tagged ‘filosofi pakaian wanita jawa’
Jenis busana dan kelengkapannya yang dipakai oleh kalangan wanita Jawa,
khususnya di lingkungan budaya Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah adalah
baju kebaya,
kemben dan
kain tapih pinjung
dengan
stagen.
Baju kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat
biasa baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara.
Pada busana upacara seperti yang dipakai oleh seorang
garwo dalem
misalnya,
baju kebaya menggunakan
peniti
renteng dipadukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala
rambutnya digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan perhiasan yang dipakai
seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak
ketinggalan.
Untuk busana sehari-hari umumnya wanita Jawa cukup memakai
kemben yang dipadukan dengan
stagen dan
kain jarik. Kemben dipakai
untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben ini cukup lebar
dan panjang. Sedangkan
stagen dililitkan pada bagian perut untuk mengikat tapihan
pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.
Dewasa ini, baju kebaya pada umumnya hanya dipakai pada hari-hari tertentu
saja, seperti pada upacara adat misalnya. Baju kebaya di sini adalah berupa
blus berlengan panjang yang dipakai di luar kain panjang bercorak atau sarung
yang menutupi bagian bawah dari badan (dari mata kaki sampai pinggang).
Panjangnya kebaya bervariasi, mulai dari yang berukuran di sekitar pinggul atas
sampai dengan ukuran yang di atas lutut. Oleh karena itu, wanita Jawa mengenal
dua macam kebaya, yaitu kebaya pendek yang berukuran sampai pinggul dan kebaya
panjang yang berukuran sampai ke lutut.
Kebaya pendek dapat dibuat dari berbagai jenis bahan katun, baik yang polos
dengan salah satu warna seperti merah, putih, kuning, hijau, biru dan
sebagainya maupun bahan katun yang berbunga atau bersulam. Saat ini, kebaya
pendek dapat dibuat dari bahan sutera, kain sunduri (brocade), nilon, lurik
atau bahan-bahan sintetis. Sedangkan, kebaya panjang lebih banyak menggunakan
bahan beludru, brokat, sutera yang berbunga maupun nilon yang bersulam.
Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju kebaya mereka diberi tambahan bahan
berbentuk persegi panjang di .bagian depan yang berfungsi sebagai penyambung
(kuthubaru).
Baju kebaya dipakai dengan kain
sinjang jarik/ tapih dimana pada
bagian depan sebelah kiri dibuat
wiron (lipatan) yang dililitkan dari
kiri ke kanan. Untuk menutupi stagen digunakan selendang pelangi dari tenun
ikat celup yang berwarna cerah. Selendang yang dipakai tersebut sebaiknya
terbuat dari batik, kain lurik yang serasi atau kain ikat celup. Selain kain
lurik, dapat juga memakai kain gabardine yang bercorak kotak-kotak halus dengan
kombinasi warna sebagai berikut: hijau tua dengan hitam, ungu dengan hitam,
biru sedang dengan hitam, kuning tua dengan hitam dan merah bata dengan hitam.
Kelengkapan perhiasannya dapat dipakai yang sederhana berupa subang kecil
dengan kalung dan liontin yang serasi, cincin, gelang dan sepasang tusuk konde
pada sanggul.
Baju kebaya panjang biasanya menggunakan bahan beludru, brokat, sutera
maupun nilon yang bersulam. Dewasa ini, baju kebaya panjang merupakan pakaian
untuk upacara perkawinan. Dan umumnya digunakan juga oleh mempelai wanita
Sunda, Bali dan Madura. Panjang baju kebaya ini sampai ke lutut, dapat pula
memakai tambahan bahan di bagian muka akan tetapi tidak berlengkung leher
(krah). Pada umumnya kebaya panjang terbuat dari kain beludru hitam atau merah
tua, yang dihiasi pita emas di tepi pinggiran baju. Kain jarik batik yang
berlipat (wiron) tetap diperlukan untuk pakaian ini, tetapi biasanya tanpa
memakai selendang. Sanggulnya dihiasi dengan untaian bunga melati dan tusuk
konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang dipakai juga sederhana, yaitu sebuah
sisir berbentuk hampir setengah lingkaran yang dipakai di sebelah depan pusat
kepala. Baju kebaya panjang yang dipakai sebagai busana upacara biasa, maka
tata rias rambutnya tanpa untaian bunga melati dan tusuk konde.
Pada bagian badan kebaya dipotong sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan
krup. Ini dimaksudkan agar benar-benar membentuk badan pada bagian pinggang dan
payudara dan sedikit melebar pada bagian pinggul. Sedangkan, lipatan bawah
bagian belakang dan samping harus sama lebarnya dan menuju ke bagian depan
dengan agak meruncing. Lengkung leher baju menjadi satu dengan bagian depan
kebaya. Lengkung ini harus cukup lebar sehingga dapat dilipat ke dalam untuk
vuring kemudian dilipat lagi keluar untuk membentuk lengkung leher.
Busana Jawa baik pakaian sehari-hari maupun pakaian upacara sangat kaya akan
ragam hias yang tak jarang memiliki makna simbolik dibaliknya. Jenis ragam hias
yang dikenal di daerah Surakarta maupun Jogyakarta adalah kain yang bermotifkan
tematema geometris, swastika (misalnya bintang dan matahari), hewan (misal:
burung, ular, kerbau, naga), tumbuh-tumbuhan (bunga teratai, melati) maupun
alam dan manusia. Motif geometris diantaranya adalah kain batik yang bercorak ikal,
pilin, ikal rangkap dan pilin ganda. Motif berupa garis-garis potong yang
disebut motif tangga merupakan simbolisasi dari nenek moyang naik tangga sedang
menuju surga. Bahkan motif yang paling dikenal oleh masyarakat Surakarta adalah
motif tumpal berbentuk segi tiga yang disebut untu walang, yang melambangkan
kesuburan.
Pada busana-busana khusus untuk upacara perkawinan dikenal juga motif pada
batik tulis, seperti kain sindur dan truntum yang dipakai oleh orang tua
mempelai. Sedangkan kain sido mukti, kain sido luhur dan sido mulyo merupakan
pakaian mempelai.
Fungsi pakaian, awalnya digunakan sebagai alat untuk melindungi tubuh dari
cuaca dingin maupun panas. Kemudian fungsi pakaian menjadi lebih beragam,
misalnya untuk menutup aurat, sebagai unsur pelengkap upacara yang menyandang
nilai tertentu, maupun sebagai alat pemenuhan kebutuhan akan keindahan.
Pada masyarakat di Jawa Tengah, khususnya di Surakarta fungsi pakaian cukup
beragam, seperti pada masyarakat bangsawan pakaian mempunyai fungsi praktis, estetis,
religius, sosial dan simbolik. Seperti kain kebaya fungsi praktisnya adalah
untuk menjaga kehangatan dan kesehatan badan; fungsi estetis, yakni menghias
tubuh agar kelihatan lebih cantik dan menarik; fungsi sosial yakni belajar
menjaga kehormatan diri seorang wanita agar tidak mudah menyerahkan
kewanitaannya dengan cara berpakaian serapat dan serapi mungkin, serta memakai
stagen sekuat mungkin agar tidak mudah lepas.
sumber :
http://njowo.wikia.com/wiki/Busana_Tradisional_Jawa-Solo