Oleh : Dwi Adhi Putra |
“Kriing…kriing…kring…,” nada dering
panggilan dari sebuah HP milik salah seorang siswa SMU TARUNA BUMI. Sebut saja
Adhi. Parasnya begitu manawan dengan pakaian rapi yang dikenakannya dan
potongan rambut gaya syegi yang begitu melengkapi kesempurnaan parasnya. Banyak
sekali gadis-gadis yang mengejarnya berharap biasa menjadi pasangan hidupnya.
“Halo, Pa?” Suara halus yang indah
telah ia keluarkan untuk menjawab panggilan dari sang Papa.
“Cepatlah pulang! Kamu tidak ada
kegiatan bukan?” Telepon Papa via HP. Sangat tumben sekali beliau telepon ke HP
Adhi. Sejak ia dibelikan HP SAMSUNG oleh mama saat ulang tahunnya yang ke -18
lalu, tepatnya satu gross hari yang lalu dan tercatat papa baru dua kali calling dan tiga kali kirim SMS ke HP
Adhi.
“Ada apa tho, Pa?” Logat ke-Yogyakartaannya mulai terlihat.
“Papa ingin jalan-jalan bareng sama
Kamu dan Mama. Refreshing-lah…! Papa
jenuh dengan kehidupan Papa salama ini.”
“Kemana, Pa?” Sahut Adhi dengan
persaan yang sedikit aneh.
Wajar saja, Papa yang dikenal Adhi
adalah sosok yang selalu sibuk dengan pekerjaannya yang seabrek-abrek, dan
berperan sebagai gladiator yang selalu menuntut Adhi untuk menjadi lelaki
sejati yang dapat meneruskan pekerjaannya itu tiba-tiba saja berubah menjadi
papa yang cukup menyenangkan.
“Puncak Dieng! Villa kita yang di
sana sudah lama tidak kita tempati.” Jawab sang Papa.
Yah, itu karena kesibukan Papa.
Kesempatan bersantai bersama keluarga nyaris semua tergadai. Bagaimana mungkin,
anak semata wayang itu tidak berkutub kepada sang Mama. Ya, profil yang melekat
selama delapan belas tahun usianya itu adalah profil sang Mama. Adhi sangat
ingat kehadiran papanya di rumah selalu ia tanggapi dengan
kesibukan-kesibukannya membaca komik dan novel-novel islami. Tak jarang ia juga
hanya bermain game computer. Papa sendiri nampaknya juga kurang tertarik untuk
ngobrol dengan anak itu.
“Iya deh, Pa. Adhi pulang
secepatnya.”
“Papa tunggu, lho..!”
“Siap, Pa!”
Seperti ada kedekatan antara dua
sosok beda generasi itu. Adhi melangkahkan kakinya panjang-panjang berharap
dapat segera mencapai rumah. Jarak yang hanya berkisar seratus meter dari
sekolahnya itu nampak begitu jauh. Mungkin karena getaran jiwa yang sudah lama
tidak Adhi rasakan, sehingga terasa begitu melankolis.
“Assalamu’alaikkum…!” Sapa Adhi.
Dua sosok manusia menyambut
dengan senyuman manis yang begitu melenakan jiwa. Papa yang begitu tampan dan
gagah dengan pakaian sportinya dan mama yang tampil bagitu cantik mempesona
dengan busana muslim berwarna pink
yang begitu kontras. Betapa serasi mereka di mata Adhi. Mendadak Adhi ingin
sekali memeluk keduanya dengan erat.
“Sudah siap, Dhi?” Tanya sang
Papa.
“Barang-barangmu sudah kami
siapkan. Tinggal ganti baju saja. Untuk makan, nanti kita cari warung di perjalanan.”
Kata sang Mama dengan lembut.
“Oke, Ma! Tunggu sebentar ya?”
Dalam waktu sepuluh menit Adhi
telah siap. Dengan sepatu, celana gunung, kaos oblong, jaket dan topi ala
Indiana Johns melekat pada pemuda itu. Ia juga melengkapi barang-barang
pribadinya dengan buku-buku komik dan koleksi novel islami kesanyangannya.
Papa membuka pintu panthernya.
Sengaja menggunakan yang panther karena selain dinilai tangguh juga dapat
memuat banyak barang. Begitu masuk, terlihatlah seabrek-abrek barang bawaan
untuk liburan mereka telah memenuhi jok
belakang. Ada sepeda gunung, rock
climbing, tenda, tiga buah ransel,
dan beberapa perlengkapan liburan lainnya berdesak-desakan ingin ikut berlibur.
Sang Papa duduk di depan sebagai driver dengan didampingi permaisurinya, Mama.
Sedangkan Adhi duduk di jok tengah sendirian. Yah, begitulah nasib seorang anak
semata wayang. Apapun selalu sendiri. Tidak ada yang digodain, dimanjain,
dicubitin, dicurhatin, bahkan diajak berantem. Tapi setidaknya Adhi masih punya
seorang mama yang selalu perhatian dengannya setiap waktu dan seorang papa yang
ternyata masih bisa meluangkan waktunya untuk keluarga.
Sebenarnya, Adhi mempunyai dua
orang adik. Tapi mungkin belum saatnya sehingga Allah telah mengambilnya
kembali. Adik pertamanya sudah berusia enam tahun, namun akhirnya dia pulang ke
rahmatullah setelah gugur di medan pertempurannya melawan penyakit kanker otak.
Sedangkan adik keduanya meninggal dunia saat berusia tujuh bulan dalam
kandungan sang Mama karena keguguran. Ya, padahal dia belum melihat dunia, tapi
sudah say goodbye duluan. Tapi mungkin itu adalah rencana Allah, dan
rencana-Nya selalu untuk menjadikan hambanya yang terbaik.
Dari balik jendela mobil itu,
Adhi memandangi indahnya pemandangan
disepanjang perjalanan menuju Dieng. Terlihatlah hamparan kebun kopi
yang sangat luas mencapai ratusan hektar. Daun-daunnya begitu hijau dan
bunganya mulai memutih. Bau harumnya sangat semerbak wangi. Jalan yang dilewati
dengan penuh liku-liku itu telah terbayar lunas dengan pemandangan yang begitu
asri. Bahkan selama perjalanan, sang Papa telah menunjukan betapa ahlinya ia
mengemudikan mobil panthernya dalam medan yang penuh liku-liku itu.
“Kalian mau minum es kelapa
muda?” Tanya Papa,
“Papa, pernah mampir disebuah
warung dekat tikungan di ujung sana, rasanya segar sekali, lho..” Tambah sang
Papa.
“Wah, boleh juga itu, Pa! Ayo Ma,
kita juga ikut nyoba.” Seru Adhi.
Mobil panther itu pun diparkir di
dekat warung tersebut. Warung itu mencoba menunjukkan keramahtamahannya. Senyum
lebar tersungging dari bibir tuan pemilik warung itu. Warung yang terbuat dari
kombiansi kayu dan bilah bambu itu tampak bagitu menyenagngkan. Tikar yang
tergeletak lemas tak berdaya karena tertindih meja kecil untuk menghidangkan es
kelapa muda. Papa duduk bersila sambil menggerak-gerakkan kepala dan lengannya
mencoba memulihkan kebugarannya. Sang Mama membantu papa dengan memijit-pijit
bahu sang Papa. Adhi lebih memilih untuk melompati pagar dan memetik sepucuk
bunga kopi yang sangat harum di sana.
“Adhi, es kelapa mudanya sudah datang.
Ayo ke sini !” Ajak sang Mama.
“Baik, Ma. Aku ke sana sekarang.”
Jawab Adhi sambil melompat dari kebun kopi yang tempatnya lebih tinggi dari
jalanan itu. Adhi kemudian memberikan sepucuk bunga kopi itu kepada sang Mama
tercinta.
“Jadi keinget masa muda dulu ya,
Ma. Ingatkan waktu Papa kasih Mama bunga?” Kata Papa.
“Apa? Papa pernah ngasih Mama
bunga? Benarkah itu, Ma?” Tanya Adhi dengan perasaan setengah tidak percaya.
“Iya, tapi terus Mama buang ke
tempat sampah.” Jawab Mama judes.
“Lho, kok dibuang, Ma? Kan
sayang.” Adhi heran.
“Sebenernya bunga itu bukan buat Mama, tapi untuk gadis
idaman Papa. Karena ditolak maka bunga itu terus dikasihkan ke Mama. Ya, Mama
buang! Masa, Mama dikasih bunga bekas !” Jelas sang Mama.
“Padahal, Mamamu itu dulunya
adalah salah satu wanita yang menjadi idaman banyak pria lho..” Balas Papa.
“Sudah-sudah, yang pentingkan
sekarang Mama sudah jadi milik Papa!” Tegas Mama.
“Nogmong-ngomong kamu udah punya
pacar belum?” Tanya sang Papa.
“Adhi maunya langsung menikah aja
Pa, Adhi gak mau pacaran! Karena menurut Adhi laki-laki yang telah menyatakan
cintanya tapi tidak menjadi pasangan sahnya, itu bukan laki-laki yang genthel, Pa.
Karena kalau pacaran itu pasti putus nambung putus nyambung terus, gak sehat
ah, Pa.” Ucapnya.
“Papa dulu menikah dengan ibumu
juga tanpa melalui pacaran lho..” Sahut Papa.
“Iya, tapi setelah Papa memacari
beberapa gadis sebelum Mama.” Balas Mama.
“Lho, kalau dihitung-hitung Papa
ini laki-laki keberapa Mama?” Papa tidak mau kalah.
“Sudah-sudah, masa lalu itu untuk
dikenang bukan diperdebatkan seperti ini ! Yuk, Pa, Ma, kita lanjutkan
perjalanan.!” Lerai Adhi.
Mereka pun bergegas masuk ke
mobil dan melanjutkan perjalanannya setelah membayar ongkos es degan mereka.
Setelah kurang lebih dua jam mereka terpenjara dalam mobil, akhirnya mereka
tiba di depan sebuah villa dengan warna cat kuning cerah yang memancarkan
kemegahannya. Papa menempatkan mobil panthernya di samping villa itu. Seturun
dari mobil, mereka disambut oleh seseorang berpeci, berambut keriting, berkumis
tebal dan berjenggot. Ia mengenakan kaos lengan panjang dan celana bermotif
kotak-kotak. Meski demikian wajahnya menggambarkan keramahan. Seandainya Ia
juga mengenakan sarung bermotif kotak-kotak yang dikalungkan pada lehernya, Ia
akan tampak seperti pahlawan yang melegenda, Lutung Kasarung. Yah, hampur
mirip. Tapi sayang itu bukan dia. Orang yang telah menyambut kami itu bernama
Pak Wiratmo. Dulu Pak Wiratmo adalah seorang pelaut. Namun karena perusahaannya
bangkrut, Pak Wiratmo kena PHK. Setelah itu dia ditinggalkan oleh anak dan
istrinya, karena mereka tidak ingin hidup bersama lagi dengan Pak Wiratmo yang
sudah miskin itu. Akhirnya ada seorang teman Papa yang mempertemukan Papa
dengan Pak Wiratmo. Papa pun mengangkat Pak Wiratmo sebagai tukang kebun sekaligus
penjaga villa ini.
Tanpa bertele-tele, Adhi mulai
menurunkan semua barang bawaannya. Dengan sigap Ia mendirikan dua buah tenda
sekaligus, di bumi perkemahan dekat villa ayahnya itu. Satu tenda warna biru
untuk Pak Wir dan Adhi sedangkan yang satunya berwarna merah untuk Mama dan
Papa. Sambil menunggu Adhi selesai mendirikan tenda, Pak Wir dan Papa mencari
kayu bakar untuk api unggun. Sebenarnya kalau mau beli juga banyak yang
menjualnya, tapi itu adalah sebagai pilihan terakhir jika mereka tidak mendapatkan
kayu bakar.
Malam telah datang. Selembar
tikar tergelar di atas rumput yang hangat. Api unggun yang berjarak satu meter
itu begitu atraktif meluik-liuk ke atas mencoba menglahkan gelapnya malam.
Kehangatan cinta diantara mereka menghalagi suhu udara yang dingin ke arah
mereka. Pak Wir sibuk dengan membolak-balik daging panggangnya. Aroma harumnya
begitu memikat, masuk melalui lubang hidung, diterima impuls dilanjutkan oleh
saraf untuk menghantarnya sampai keotak dan didistribusikan sampai ke otot-otot
perut sehingga rasa lapar pun menerjang perut mereka.
“Pak Wir, kenapa ya papa dan mama
mesra sekali malam ini? Tidak seperti biasanya begitu?” Tanya Adhi penasaran.
“Den Adhi tahu sekarang tanggal
berapa? Coba Aden ingat.” Jawab Pak Wiratmo.
“Tanggal 18 November 2012.
Memangnya kenapa? Kok malah nanya tanggal?” Adhi Bingung.
“Hari ini adalah hari universary
pernikahan Papa dan Mama Aden.” Jelas Pak Wir.
“Pantas!!” Adhi telah
menerjemahkan apa yang telah dijelaskan oleh Pak Wir, dan Adhi telah mengerti
tentang perubahan-perubahan menakjubkan dari sang Papa.
Namun tiada terduga suasana
harmonis itu terpecah oleh suara desingan mesin yang agak aneh. Seperti berasal
dari arah hutan belakang villa yang agak jauh. Dari situlah rasa keingintahuan
Papa, Pak Wiratmo dan Adhi tumbuh. Rasa itu bergejolak dalam jiwa menyulut
adrenalin yang memacu tubuh mereka untuk mendekati sumber suara tersebut dan
memeriksanya. Bertiga, Papa, Pak Wir dan Adhi melakukan ekspedisinya malam itu.
Sedangkan sang Mama menunggu di tenda sambil meneruskan pekerjaan Pak Wir,
memanggang daging. Langkah demi langkah mereka melewati semak-semak dan
pepohonan. Tiga buah senter ikut menemani langkah mereka. Malam itu tampak
kurang bersahabat. Bulan enggan menampakkan paras indahnya. Sang bintang juga
hanya melirikkan cahayanya samar-samar tertutup oleh awan mendung.semakin
mendekati sumber suara itu, mereka memperlambat jalannya dan mulai
ngendap-endap. Menyelinap di balik semak-semak dan mencoba mencari tahu apa
yang sebenarnya terjadi.
“Seperti sedang melakukan
pencurian kayu, Pa.! Mungkin mereka adalah pembalak liar.!” Bisik Adhi.
“Sepertinya begitu.” Jawab sang
Papa.
Mengintai dan memata-matai
pergerakan orang-orang asing itu. Mencoba mendapatkan data dengan lengkap dan
konkrit untuk dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
“Kriiing..kriiing…kriiiing…”
Suara HP Adhi Berdering.
Rupanya Ia lupa untuk
mengheningkan HP-nya itu. Sehingga suara itu memicu sebuah keributan.
Pengintaian mereka terbongkar. Salah seorang dari mereka berteriak, “siapa di
sana?”
“LARIIII…!!” Teriak sang Papa.
Mereka bertiga lari secepat
mungkin, berharap tidak ada yang dapat mengejar mereka. Jantung berdegup sangat
kencang. Darah serasa berjalan begitu cepat dari kepala sampai kaki. Keringat
yang biasanya enggan memperlihatkan wujudnya kini keluar begitu deras. Lari.
Kata itulah yang mereka ingat. Adhi dan Pak Wir terus berlari tanpa menengok ke
arah belakang. Sementara itu bunyi dering dari HP Adhi masih terdengar sampai
meraka tiba di tepi hutan itu.
“Halo, Ma. Tolong segera telepon
polisi. Ada pembalakan liar disini ! cepat, Ma ! tidak ada waktu lagi..!!”
Ucapnya via telepon kepada sang Mama.
Ternyata telepon dari sang Mama
yang mengkhawatirkan keselamatan anaknya yang berujung sebuah kekacauan. Rasa
takut dan panik bercampur menjadi satu. Tak ada yang lain yang mereka pikirkan
selain bisa lolos dari tempat pembalakan liar yang menakutkan itu. Mereka bisa
lolos namun keganjilan mulai terjadi ketika mereka mendengar suara tembakan
dari arah hutan tempat dimana pembalakan liar itu terjadi.
“Papaaa..!!” Jeritan keras ndari
Adhi yang merasa bersalah telah melarikan diri tanpa melihat kedaan Papanya
sebelumnya.
Air mata menggenang di katup
matanya. Mengalir melalui kedua bilah pipinya. Pak Wir mencoba menenangkan Adhi
dengan berkata bahwa Papanya pasti selamat, dan suara tembakan itu hanya
sebagai gertakan belaka. Seiring dengan keluarnya teriakan dari mulutnya, Adhi
mulai kehilangan energi dalam tubuhnya, Ia mulai melemas, wajahnya pucat dan
detak jantung serta napasnya tidak beraturan. Pak Wir terus mencoba menenangkan dan meyakinkan Adhi bahwa Papanya masih hidup
dan selamat. Sampai akhirnya Mama beserta rombongan polisi datang kesana.
Polisi-polisi itu sangat lihai menerobos hutan dan dapat dengan cepat menangkap
pembalak liar itu. Namun suasana menjadi sangat berbeda ketika para polisi itu
membawa keluar sebuah jenazah seorang laki-laki. Setelah diperiksa ternyata itu
adalah jenazah sang Papa yang telah gugur dalam ekspedisi mereka. Adhi kembali
mengeluarkan air matanya sebagai tanda berduka dan penyesalan yang amat dalam.
Sang Mama yang baru datang pun langsung roboh pingsan karena melihat suaminya
terkapar tanpa nyawa. Pak Wiratmo yang tadinya mencoba meyakinkan bahwa tuannya
selamat dan masih hidup kini telah putu asa dan merasa bersalah. Karena dalam
pikirnya seharusnya Ia yang menyelamatkan Tuan Papa dan Tuan Muda dengan
nyawanya sendiri. Tapi ternyata malah Tuan Papa yang menyelamatkan hidupnya. Malam
itu tak pernah terprediksikan oleh siapun. Dan polisi mencoba menenangkan
mereka bertiga yang begitu merasa kehilangan. Setelah berjam-jam kemudian
mereka berhasil diatasi.
Pada keesokan harinya, Mama
memutuskan untuk pulang dan memakamkan jenazah sang Papa di makam yang tak jauh
dari tempat tinggal mereka. Sampai di rumah prosesi upacara pemakamanpun
dimulai. Semakin siang semakin banyak orang yang datang untuk turut berduka
cita. Upacara pemakaman itu selesai setelah jenazah berhasil dikebumikan.
“I love you, Dad.” Kata terakhir
Adhi untuk sang Papa.
Ia sadar bahwa setiap makhluk-Nya
pasti akan kembali kepada-Nya. Namun Ia tidak menyangka jika kepergian Papanya
akan secepat ini.
“Papa, sekarang aku paham. Bahwa
setiap makhluk hidup memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyampaikan rasa
kasih sayangnya. Dan kasih sayang itu tidak akan pernah terhapus oleh waktu.
Karena setiap hari pasti ada kasih sayang yang menumbuhkan cinta. Jadi tiada
hari tanpa cinta, kasih dan sayang. Dan kasih sayang yang abadi adalah kasih sayang
dari-Nya untuk makhluk-Nya. Ya, kau
benar, Pa. That every day is love day.” Air mata kembali membasahi pipinya
setelah sebelumnya telah Ia usap. Kesedihan yang manusiawi.