"Apa kabar perawan tua? Kelapa itu semakin tua semakin kental santannya. Maka banggalah menjadi perawan tua." - Sukarman
Cinta Suci Zahrana
adalah film Lebaran terbaik tahun ini... jika dinilai dari trailer.
Dari keempat film Indonesia yang dilempar ke pasaran menjelang perayaan
Hari Raya Idul Fitri, Cinta Suci Zahrana menjadi satu-satunya
yang mempunyai trailer paling ‘bener’. Fungsinya terjalankan dengan
baik. Tapi sayang sekali, Sinemart, kualitas dari sebuah film tidak
dinilai dari penampilan trailer-nya, sebagus apapun kemasannya. Setelah Ayat-Ayat Cinta,
film-film adaptasi dari novel karangan Habiburrahman El Shirazy – atau
yang akrab disapa Kang Abik – kian lama kian memprihatinkan. Puncaknya,
ketika beliau memutuskan untuk turun ke lapangan demi membesut Dalam Mihrab Cinta
yang ah... sudahlah, tak usah dibahas. Anda tentu sudah tahu betapa
konyolnya film tersebut. Entah karena memang suatu kesengajaan lantaran
paham betul penonton akan mengolok-olok hasil akhir film ini, atau murni
karena sebuah kecelakaan – hanya sutradara dan Tuhan yang tahu, Chaerul
Umam yang juga menangani dwilogi pembangun jiwa, Ketika Cinta Bertasbih, memutuskan untuk membawa Cinta Suci Zahrana ke ranah komedi. Setidaknya, itu yang berhasil saya tangkap.
Tidak seperti Ayat-Ayat Cinta, dwilogi Ketika Cinta Bertasbih, maupun Dalam Mihrab Cinta,
petualangan cinta dosen muda bernama Zahrana (Meyda Sefira) ini tidak
dibalut dalam jalinan cerita yang mendayu-dayu, dan nuansa romantis yang
berlebihan. Chaerul Umam mencoba untuk melakukan pendekatan baru,
menerjemahkan novel Kang Abik menjadi sebuah film yang penuh dengan
kegembiraan, keceriaan, dan kekonyolan yang membuat gedung bioskop
dipenuhi dengan riuh tawa penonton yang nyaris tiada henti sepanjang
film. Terserah Anda mengartikan ini sebagai sebuah penilaian yang
positif atau negatif. Yang jelas, saya sangat menikmati setiap detik
yang berjalan tatkala menyaksikan film ini. Ini adalah film Indonesia
pertama yang membuat saya tertawa terbahak-bahak sampai-sampai
mengeluarkan air mata – atau jika Anda ingin saya menuliskannya dalam
bahasa yang lebay, ngakak kejengkang – di tahun 2012. Naskah olahan
almarhum Misbach Yusa Biran menuntut film untuk bertutur dengan lebih
santai dan realistis. Konflik yang dihadapi oleh Zahrana, begitu juga
dengan sejumlah tokoh yang hadir dalam kehidupan Zahrana, dapat kita
jumpai dengan mudah di kehidupan nyata. Beberapa dari Anda tentu sudah
pernah dihadapkan pada pertanyaan, "kapan nikah?" atau "sudah punya
calon belum?". Pertanyaan sederhana tapi nyelekit inilah yang menjadi
dasar cerita Cinta Suci Zahrana.
Jalan cerita Cinta Suci Zahrana
masih mengulik seputar perjodohan dan lamar-melamar. Zahrana yang telah
berusia 34 tahun tidak kunjung dipersunting oleh lelaki. Bukan tidak
ada yang mau dengan Rana – sapaan akrab Zahrana, akan tetapi wanita yang
baru saja kembali dari Beijing berkat prestasinya yang moncer dalam
bidang akademis ini belum menemukan yang pas di hati *halah*. Hal ini
membuat kedua orang tua Rana cemas.
Harapan terakhir ayah Zahrana yang
sakit-sakitan, Munajat (Amoroso Katamsi), adalah ingin segera melihat
putri semata wayangnya ini segera naik ke pelaminan. Atasan Rana,
Sukarman (Rahman Yacob), melamar Rana. Dengan alasan tidak menyukai
akhlak dari Sukarman, Rana menampik lamaran. Konsekuensi yang diterima,
dia kehilangan pekerjaan dan mendapat teror SMS yang tiada berkesudahan.
Melihat kondisi sang ayah yang kian kritis, Rana pun meminta bantuan
seorang ustadzah untuk mencarikannya jodoh. Rana dijodohkan dengan
seorang penjual kerupuk keliling, Rachmad (Kholidi Asadil Alam). Di saat
pernikahan hendak dilangsungkan, hadir Hasan (Miller Khan), seorang
mahasiswa tingkat akhir yang pernah dibimbing Rana saat mengerjakan
skripsi.
Jika Anda sudah hafal dengan cara bertutur Kang Abik, maka Anda
tentu sudah bisa menebak bagaimana penyelesaian cinta segibanyak antara
Rana dengan para pria yang mengejarnya. Ada tokoh yang kudu dijadikan
‘tumbal’ demi terwujudnya akhir kisah yang bahagia. Yang menjadi
pertanyaan, siapakah dia? Jeng jeng! Film pun ditutup dengan dialog
menggelikan yang membuat saya ingin bergelantungan di dalam bioskop.
“Mas, bolehkah aku menciummu?” “Tapi aku malu, dik.” “Tapi kan kita
sudah menikah, sudah halal, dan kita sendirian.” Setelah dialog ini,
Rana dan suaminya berjalan menjauhi kamera, menuju Candi Prambanan.
Penonton tidak dibiarkan tahu, apakah mereka akhirnya berciuman atau
tidak. Meh.
0 comments:
Post a Comment